Rakyat Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Bahaya Korupsi
Tertunduk pada iming-iming materi dan ketidakpuasan dalam kehidupannya sehingga jabatan atau pangkat dari setiap profesinya hal itu dijadikan sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan tercelah dalam kehidupan sosial masyarakat, maka itulah yang disebut sebagian dari perilaku korupsi. Akan tetapi itu tidak terlalu menjadi urusan dalam kehidupannya asalkan kemudian mampu memberikan proses kehidupan bahagia yang begitu cepat dan signifikan, tidak lagi menjadi dasar nilai-nilai kejujuran baik itu kejujuran yang berdasarkan religiusnya ataupun budaya dalam setiap wilayah atau daerahnya, seperti “siri na pacce”. Sehingga bibit dan pupuk untuk meretas dari perilaku bejat itu semakin berkembang dan secara terstruktur dari setiap kalangan.
Korupsi bukanlah isu yang baru dikenal di kalangan masyarakat. Ironisnya, meski beragam upaya dan wacana terus didengungkan untuk memeranginya, praktik korupsi tetap berlangsung. Semestinya untuk melawan atau memerangi terhadap anti korupsi, tak hanya institusi-institusi pengamat ataupun pemberantas korupsi saja yang sibuk bersuara. Tetapi gerakan untuk menjadikan kejujuran sebagai sebuah budaya bangsa dan menghalau semua tindakan penggerogotan bangsa ini hendaknya menjadi tanggung jawab setiap warga negara. Keberhasilan untuk melawan perilaku Korupsi tidak hanya diukur dari berapa banyak koruptor dipenjara dan berapa besar uang negara bisa diselamatkan. Akan tetapi, kesuksesannya juga diukur dari dampak perlawan ini yang akan kemudian mampu memberikan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, maka inilah cita-cita Negara Indonesia.
Penyakit ini adalah salah satu bentuk dari gejala penyimpangan kekuasaan yang bisa dilakukan oleh siapapun dan dari sektor manapun, baik dari pejabat publik, sektor swasta, maupun ditingkat masyarakat pada umumnya. Sehingga apa yang terjadi di negeri ini adalah hanya proses kemiskinan yang tetap menjadi masalah sentral dalam kehidupan masyarakat marginal atau masyarkat pada tarap kehidupan ekonominya  paling bawah, sehingga terciptalah sebuah kalimat yang ada dalam masyarakat adalah yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin atau tidak ada perkembangan dalam kehidupan. Korupsi berakar pada politik penyelenggaraan negara yang tidak sehat. Institusi dan aparatur negara dikuasai secara tak langsung oleh elite politik yang didukung birokrat dan kelompok bisnis. Korupsi dalam pengertian lebih luas dijadikan sebagai metode untuk memperoleh, mempertahankan, dan memperluas pengaruh mereka dalam pengelolaan Negara. Korupsi juga digunakan melayani akumulasi modal kelompok bisnis tertentu dibandingkan mendorong pemerataan ekonomi, apalagi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Praktik serupa juga dilakukan oleh politisi, birokrat, dan pengusaha di tingkat lebih rendah ataupun di daerah. Karena dalam hubungan eksploitasi dan kemiskinan, korupsi memainkan empat peran yang berbeda tapi saling berhubungan yang dapat dikaitkan dengan rasionalitas tunggal, peran itu adalah : Pertama, konsolidasi dasar ekonomi borjuis. Kedua, stabilisasi kekuasaan kelas borjuis untuk menggeser kesadaran massa dan melumpuhkan semangat revolusioner mereka dengan serangan ideologis dan penindasan. Ketiga, memperoleh surplus yang diperlukan untuk memungkinkan pola konsumsi yang dipamerkan oleh kaum borjuis. Keempat, memberikan kepada kaum proletar seperlunya saja untuk dapat bertahan hidup, membiarkan korupsi kecil-kecilan yang dilakukan oleh pegawai rendahan dan penduduk lain sehingga dapat menghindari mati kelaparan yang hina. Dengan pola tersebut yang secara sistematis yang dilakukan oleh kaum borjuis akan semakin memperlebar jurang kemiskinan bangsa ini.

Negara sudah memberikan lampu merah terhadap bahaya perilaku korupsi, bahkan dijadikan sebagai tindak pidana extra ordinary crime atau kejahatan yang sangat luar biasa, maka perlu pula penanganan yang sangat laur biasa. Dalam Konsideran menimbang dari UU No. 20 tahun 2001 Jo UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyrakat secara luas, sehingga hal itu digolongkan sebagai tindak pidana yang sangat luar biasa dan diperlukan pula langkah-langkah untuk memberantasnya secara luar biasa pula. Indonesia telah melakukan berbagai upaya memerangi korupsi. Lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan RI, dan Kepolisian RI, telah banyak menyeret pelaku korupsi ke penjara. Bahkan, kerugian negara karena korupsi juga telah diselamatkan. Selain itu, berbagai kebijakan dan anggaran untuk pencegahan korupsi juga telah digulirkan. Semua celah korupsi telah diupayakan ditutup seketat mungkin.
Namun, korupsi masih tetap saja terjadi di semua lini penyelenggaraan negara. Penindakan dan pencegahan korupsi seakan tiada artinya untuk menyelamatkan negara dari praktik haram tersebut. Penindakan korupsi malah mendapatkan serangan balik berupa kriminalisasi pimpinan KPK dan pelemahan institusinya. Begitu juga pencegahan korupsi mengalami hal sama. Hampir semua kebijakan, program, sistem anti korupsi, dan reformasi birokrasi di semua instansi seakan tak mampu mencegah korupsi.
Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja. Korupsi menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat, khususnya dalam sisi ekonomi sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat.
Kalau benar pelacuran adalah “the oldest profession” maka korupsi barang kali boleh dikatakan sebagai “as old as the organization of powers”, peraktik korupsi yang dilakukan oleh mesin kekuasaan telah mengantarkan bangsa ini ke tubir jurang kehancuran total. Seharusnya sistem kekuasaan wajib ditegakkan diatas landasan moral yang kokoh, karena tanpa moral kekuasaan akan hanya bersifat destruktif. Seharusnya kekuatan moral haruslah berlandaskan pada agama dan pancasila yang difunsikan secara nyata dalam membentuk perangai penguasa dan masyarakat.
Pada dasarnya perjuangan melawan korupsi sejatinya hampir sama dengan usia republik ini walaupun baru di publik ketika era reformasi tahun 1998 dengan lahirnya lembaga Pemberantasan Korupsi, tapi semangat rakyat untuk menghilangkan dan membersihkan perilaku tersebut itu sudah jauh sebelumnya. Hampir setiap daerah sering ditemukan lembaga yang mengatas namakan rakyat yang lebih kepada pemberantasan korupsi, ini berarti bahwa norma atau nilai-nilai moral yang terdapat dalam diri mereka, dan itu didasarkan dengan kultur budaya yang terdapat disetiap daerahnya. Sehingga gerakan-gerakan tersebut merupakan represensi dari semangat perjuangan rakyat, karena kedaulatan Negara Indonesia berada pada tangan rakyat. Untuk merealisasikan pencegahan dan pemberantasan terhadap korupsi, maka ada 3 ( tiga ) yang perlu dipejuangkan : Pertama, harus disatukan persefsi tentang anti korupsi. Korupsi akan menghancurkan, korupsi adalah perbuatan atau perilaku yang menyimpang dan perbuatan korupsi telah melawan norma dan aturan. Kedua, perlu ada langkah atau gerakan yang terorganisir dan massif. Dengan gerakan dan langkah tersebut selain akan memperkuat juga akan memberikan pengaruh yang begitu besar dan akan terarah. Ketiga, negara harus meciptakan aturan yang akan memberikan efek jerah dan tidak akan mengulangi lagi. Untuk mewujudkan hal tersebut, keberhasilan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi ini tidak saja diukur dari sisi penegakan hukum ataupun pencegahan korupsi, tetapi dibutuhkan indikator keberhasilan lebih luas. Pemberantasan korupsi harus diukur seberapa besar bersih pengelolaan sumber daya negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Satukan barisan untuk memerangi perbuatan korupsi baik pada diri masing-masing atau secara personal, maupun rakyat pada umumnya. Rakyat masif dan terorganisasi adalah resepnya, dan hal ini bisa terwujud jika persatuan dan kesatuan dalam mencegah dan memberantas korupsi dengan hal itu rakyat akan kesejahteraan. Indonesia bersih dari korupsi.


Muhammad Agung. ( Maros, 30 Mei 2017 ).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Profesi Hukum

Kekerasan Terhadap Pemuka Agama