Sul-Sel Kembali Memilih Pemimpin

Sul-Sel kembali Memilih Pemimpin 

Detik-detik ini pemilihan kepala daerah serentak 2018 segera dilaksanakan di 171 daerah. Publik kembali diuji untuk memilih kepala daerah yang dapat membawa perubahan. Di balik berbagai pertentangan, keriuhan, dan kemeriahan, pilkada semakin jadi wadah pembelajaran demokrasi publik. Suhu politik di Tanah Air kian menghangat menjelang perhelatan pilkada serentak 27 Juni ini di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang telah terjadi penambahan sebelumnya. Pilkada serentak hadir sebagai sarana untuk menguatkan konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia. Setidaknya pilkada bertujuan untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif. 
Pemilihan kepala daerah 2018 merupakan momentun politik lima tahunan yang dihelat beberapa daerah di Indonesia yang kembali dikemas dalam pilkada serentak yang masuk sebagai gelombang ketiga, baik pada level Propinsi, Kota maupun kabupaten. Pilkada serentak 2018 pula telah diperkuat melalui Undang-Undang  Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dan Momen Pilkada tentu dimaknai berbeda oleh masyarakat berdasarkan segmentasinya, tergantung dari perspektif dalam memaknainya. 
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemilihan, sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk seluruh daerah di Indonesia pada tahun 2027, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak dilaksanakan berdasarkan akhir masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keserentakan pelaksanaan ini bukan saja berkaitan dengan hari dan tanggal pemungutan suara tetapi juga berkaitan dengan seluruh proses tahapan penyelenggaraan. Karena ada tiga hal yang hendak dijawab dari hadirnya pilkada serentak yang merupakan evaluasi pelaksanaan sebelumnya (Perludem – Jurnal Pemilu & Demokrasi  April 2016 “Evaluasi Pilkada Serentah 2015”), yakni menciptakan penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif, memperkuat drajat keterwakilan antara masyarakat dengan kepala daerahnya, dan menciptakan pemerintahan daerah yang efektif serta efisien dalam rangka menegaskan sistem pemerintahan presidensialisme.
Dan akhirnya Sul-Sel menjadi kontestasi pula dalam Pilkada Serentak 2018, yang akan memilih dari beberapa nomor urut, mulai dari nomor urut 1,2,3 dan 4 dan memiliki warna, salam dan jargon yang berbeda. Akan tetapi apakah warga Sul-Sel akan melihat dan memilih sesuai dengan pilihannya sendiri, ataukah akan ikut arus dalam alur dan atauakah akan terintimidasi ? Maka semua hal itu akan terlihat disaat setelah pemilihan sampai pengumuman resmi KPU.

Pandangan Memilih
secara umum, masyakarat sebagai objek pilkada yang juga penentu arah dan komposisi peta politik, pemaknaan peristiwa politik akan berbanding lurus pada tingkat kesadaran politik dan tingkat kecerdasan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Dalam masyarakat dunia berkembang atau yang baru mengenal sistem demokrasi seperti Indonesia, bahwa menggunakan hak pilih masih sekedar memilih kandidat ataupun partai untuk kepentingan  kandidat partai itu sendiri. 
Karakter pemilih seperti ini belum memahami bahwa juga untuk kepentingan dan masa depannya, bahkan cenderung pragmatis dengan mengharapkan suatu nilai pada saat ini juga. Dan hal tersebut bagi sebagian politisi atau Parpol yang punya kekuatan finansial memanfaatkan kondisi tersebut dengan tetap menjaga agar pragmatisme pemilih tetap terjaga, kemudian dijadikan lumbung suara pada saat pilkada. Namun kondisi saat ini, sebagian masyakat Indonesia telah menjadi pemilih cerdas memaknai pilkada sebagai agenda politik untuk memperbaiki ataupun membuat situasi menjadi lebih baik.
Politisi secara personal memaknai bahwa momen Pilkada merupakan perhelatan untuk mengukur kapasitas ketokohonan serta tingkat keterpilahannya dimasyarakat, politisi murni biasanya mulai berkarir di Partai Politik lalu bertarung pada pemilihan legislatif dan puncaknya pada level daerah masing-masing. Ketika mampu berkontestasi pada ajang Pilkada, hal tersebut menjadi ukuran bahwa dirinya adalah politisi yang diperhitungkan, walaupun beberapa contoh kasus ada kandidat yang berasal dari profesi selain politisi tetapi tetap saja bahwa orang tersebut merupakan tokoh yang diperhitungkan.
Politik secara kelembagaan atau dikenal sebagai Partai Politik merupakan wadah berkelompok para politik yang terorganisir serta mempunyai kesamaan visi antara anggotanya. Secara teoritis tujuan dan fungsi sebagai komunikasi, sosialisasi, rekrutmen politik serta sarana manajemen konflik. Namun dalam prakteknya terkadang hanya sekedar dimaknai sebagai sarana dalam memenangkan pemilu, merebut kekuasaan serta menempatkan kader pada jabatan publik. Sehingga pada konteks Pilkada, memaknainya pilkada atau pemilu bahwa segala aktifitas kepartaian akan senantiasa berujung pada persiapan merebut kekuasaan. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pemaknaan kelompok kepentingan atau kelompok kekuasaan, juga sering disebut klan politik bahwa kekuasaan adalah tujuan. Perbedaannya hanya pada anggota kelompok yang lebih heterogen, biasanya berasal dari berbagai profesi dan biasanya juga berasal dari berbeda partai politik.
Sedangkan kelompok akademisipun punya perspektif sendiri terkhusus bagi akademisi sosial politik,  yang melihat momentum pilkada sebagai perkara perlu diamati yang kemudian disinkronisasi dengan teori-teori yang ada, yang nantinya akan melahirkan tesis ataupun teori baru bagi kepentingan kajian ilmiah. Lain lagi jika bergeser pada kelompok birokrat atau abdi negara, kelompok ini merupakan kelompok yang paling merasakan dampak dari pesta demokrasi di Indonesia, sebab mereka yang nantinya akan mengimplementasikan visi, cita hingga janji-janji politik kontenstan yang menjadi pemenangan, tentu dengan melaksanakan kerja-kerja teknis di Masyarakat. 
Karakter pemilih seperti ini belum memahami bahwa juga untuk kepentingan dan masa depannya, bahkan cenderung pragmatis dengan mengharapkan suatu nilai pada saat ini juga. Dan hal tersebut bagi sebagian politisi atau Parpol yang punya kekuatan finansial memanfaatkan kondisi tersebut dengan tetap menjaga agar pragmatisme pemilih tetap terjaga, kemudian dijadikan lumbung suara pada saat pilkada. Namun kondisi saat ini, sebagian masyakat Indonesia telah menjadi pemilih cerdas memaknai pilkada sebagai agenda politik untuk memperbaiki ataupun membuat situasi menjadi lebih baik.

Memahami Calon yang akan Memimpin
Perspektif dalam memandang Pilkada yang dipaparkan diatas, juga berlaku bagi perhelatan di Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan karakter pemilih yang tersebar di 24 Kab/Kota dengan dipengaruhi oleh sosial budaya, suku, agama, serta letak geografisnya masing-masing membuat Pilkada 2018 sangat dinamis. Pilkada 2018 untuk ketiga kalinya dihelat oleh pronvinsi yang dikenal sebagai gerbang Indonesia Timur,  sehingga masyarakat Sulawesi Selatan cukup terbiasa dengan momentum suksesi politik ditambah lagi pilkada kabupaten kota, hingga rutinitas pemilihan pada level Pilkades dan RT/RW. Tak heran jika issu perpolitikan lokal menjadi konsumsi disemua tingkatan sosial masyarakat, yang berdampak pada terciptanya elit-elit lokal didaerah.
Ekses dari maraknya event-event demokrasi juga membuat polarisasi kepentingan politik di masyarakat Sulsel, yang membuat sekat antara pemilih dan pelaku/pemain/aktor politik menjadi tak jelas lagi. Masyarakat sebagai individu kemudian mengambil peran dalam kerja-kerja politik praktis dengan menjadi tim sukses pada event politik. Hal tersebut menurut beberapa ahli merupakan resiko dalam berdemokrasi yang harus ditanggung oleh masyarakat yang memilih jalan tersebut.
Sebut saja pasangan NH-Aziz sebagai pasangan nomor urut 1, Pasangan dengan nomor urut 2 adalah Agus-TBL, Pasangan nomor urut 3 adalah NA-SS, dan Pasangan nomor urut 4 adalah IYL-Cakka, inilah deretan calon yang bertarung dalam Pilgub Sul-Sel pada hari ini. Walaupun sebelumnya sudah ada yang pernah menjadi kepala daerah kabupaten, lembaga legislatif, dan aktif sebagai politik level atas atau boleh dikatakan pemain lamaji akantetapi baru muncul. Makanya jangan heran jikalau pertarungan antar figur diantara para calon tersebut sudah mampu dikenal, dikarenakan selain mereka semua adalah asli Sul-Sel putra bugis, makassar, mandar atau toraja dan mereka semua sudah mampu atau berpengalaman dalam memimpin daerahnya masing-masing, bahkan sudah ada yang bisa dikatakan sebagai tokoh nasional.
Berbagai salam ataupun jargon telah diperlihatkan, atau ditampilkan oleh para tim pemenangan calon bersama dengan jagoaanya. Ada salam yang tangan terkepal, ada salam bagus (tangan jempol yang naik), ada salam lima jari, dan ada salam punggawa. Akan tetapi jikalau penulis melihat apa yang mereka tampilkan, ternyata hal itu saling berhubungan dan saling bertalian dan itupun mampu disesuaikan dari mulai nomor pertama sampai nomor terakhir. Dan bahkan jikalau dilihat dari arti salam mereka semua lalu dikaitkan dengan kearifan lokal Sul-Sel, maka akan ditemukan arti seperti ini, nomor urut pertama menandakan bahwa rakyat sul-sel sangat dikenal, jago, siri na pacce, kuat dan berani, nomor urut 2 mampu diartikan bahwa masyarajkat Sul-Sel sangat bagus, dan sipakatau, sedangkan nomor urut 3 dengan sapaan sipakalabbi, dan sedangkan nomor urut 4 bisa diartikan sebagai sipakainge. Dan inilah mungkin gambaran dari para calon gubernur Sul-Sel.
Mewarnai Pesta Demokrasi di Sul-Sel khususnya Pilgub, karena ada beberapa Kabupaten atau kota bersamaan atau serentak, maka mari menciptakan pemilihan yang sesuai dengan Luber Jurdil, tanpa harus Golput atau mencederai perayaan tersebut. Orang Sul-Sel sangat cerdas melihat atau memilh siapa yang pantas dan mampu untuk Sul-Sel, tanpa melihat siapa yang campur tangan didalamnya. Tanpa harus melihat siapa yang mampu mengumbar janji atau menghamburkan serangan, akan tetapi yang pas dan sangat berkenang dihati. Silahkan ambil pemberian, karena mereka ikhlas, tapi jangan sama sekali terintimidasi dengan pengaruh PHPnya, karena yang terpilih menjadi gubernur maka itulah yang akan memimpin Sul-Sel 5 Tahun kedepan.

Maros, 27 Juni 2018 
Muhammad Agung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Profesi Hukum

Kekerasan Terhadap Pemuka Agama