Money Politic dalam
Pemilu
Money Politik atau politik uang atau
biasa juga disebut sebagai politik praktis merupakan suatu upaya mempengaruhi
orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual
beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang
baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (vooters).
Pemilu merupakan sarana langsung bagi masyarakat yang cukup usia untuk
berpartisipasi dalam memengaruhi pengambilan keputusan. Tahapan proses pemilu
antara lain penetapan daftar pemilih, tahap pencalonan kandidat, tahap
kampanye, tahap pemungutan serta penghitungan suara, dan hasil perolehan suara
sehingga kita dapat menentukan kandidat yang terpilih. Sistem pemilu di
Indonesia harus sesuai dengan prinsip pemilu yang bebas, langsung, jujur, adil
dan rahasia. Sistem pemilu tahun 2014 dapat dijadikan acuan penilaian sistem
pemilu di Indonesia saat ini, sistem pemilu tahun lalu ini dapat pula dijadikan
pedoman untuk mewujudkan sistem pemilu mendatang yang lebih baik dengan cara
menilai dan mengevaluasi. Penilaian sistem pemilu ini dapat di lihat dari
berbagai sudut pandang yaitu kondisi sosial ekonomi, kondisi lembaga-lembaga
politik, proses pemungutan suara, proses pemilihan kepala daerah, tatacara
pemilihan, tingkah laku masyarakat dalam memilih, partisipasi perempuan dalam
partai politik, pendapat masyarakat mengenai demokrasi, dan munculnya
masalah-masalah baru dalam pemilu. Kandidat yang maju telah diseleksi
sebelumnya karena harus memenuhi pesyaratan dan kriteria sesuai peraturan yang
berlaku.
Perpolitikan lokal selalu melahirkan
dinamika. Hal ini menuntut partai politik (parpol) sebagai instrumen demokrasi
harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan yang terjadi di
masyarakat. Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol.
Sebut saja masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan
kelompok ini kepada parpol. Kini, di masyarakat juga muncul kecenderungan
menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin. Tentunya, figur yang bisa
membawa perubahan. Sistem pemilu saat ini merencanakan banyak pemilu
kepala daerah dengan sistem pilkada serentak sehingga dalam melakukan proses
pemungutan suara diperlukan informasi dan tatacara pemilu yang efektif kepada
masyarakat luas. Masyarakat Indonesia pada umumnya telah mampu mengikuti proses
pemilu dan menghormati hasil pemilu. Akan tetapi pemilu di Indonesia masih
banyak menghadapi kendala-kendala dalam pelaksanaannya.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat
sudah letih menanti perbaikan dan bosan dengan janji-janji politik. Keberadaan
golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala daerah makin mengukuhkan
ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat Lembaga
Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang
komitmen pertanggungjawaban parpol terhadap konstituennya masih sangat minim.
Sehingga membuat para pemilih menjadi tidak respek terhadap parpol. Kepercayaan
masyarakat kepada lembaga-lembaga yang berwenang dalam proses pemilu merupakan faktor penting dalam pelaksanaan
pemilu, sehingga diperlukan peran lembaga-lembaga pemilu yang efektif dan mampu
menjaga nama baiknya. Tingkat kepercayaan masyarakat pula harus di dukung oleh
anggota lembaga-lembaga pemilu yang memiliki keahlian mengatasi
masalah-masalalah pemilu dan mampu bersikap adil dengan tidak memihak salah
satu partai politik. Masyarakat pada umumnya mengajukan usulan jangka waktu
tunggu 5 tahun bagi mantan anggota komisi pemilu untuk dapat menjadi anggota
partai politik, hal ini merupakan antisipasi karena ditakutkan hubungan anggota
yang akrab antara komisi pemilu dengan anggota partai menimbulkan
persekongkolan negatif. Prinsip pemilu yang bebas, langsung, jujur, adil dan
rahasia," yang mengandung makna bahwa lembaga-lembaga pemilu harus
bertindak netral dan transparan dalam proses pemilu. Kandidat-kandidat pada
pemilu ini melakukan proses kampaye yang merupakan bentuk publikasi kepada
masyarakat dan untuk memengaruhi masyarakat supaya memilih kandidat tersebut.
Money politic (politik uang) merupakan uang
maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan
masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal
praktek money politic merupakan praktek yang sangat
bertentangan dengan nilai demokrasi.Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan
sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat
praktek money politicini menjamur luas di masyarakat. Maraknya
praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya
Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal
praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde baru
tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem pemilu
yang benar-benar anti money politic. Praktek money
politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data untuk
membuktikan sumber praktek tersebut, namun ironisnya praktek money
politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di
masyarakat. Real-nya Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih
harus banyak perbaikan, jauh berbeda dibandingkan sistem pemilu demokrasi di
Amerika yang sudah matang. Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi
di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit
politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk
melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai
kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus masalah
Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK)
karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu
membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan
penanganan yang lebih serius. Masyarakat yang kondisi ekonominya sulit dan
pengetahuan politiknya masih awam akan mejadi sasaran empuk para pelaku
praktek money politik.
Dari sisi waktunya, praktik Money Politics di
negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan. Pada
pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa
tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama
mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah setelah
pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang tersebut.
Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat
berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.
Kalau kita mau menganalisa dari kedua
tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran the
voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur
keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah
pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda
gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’. Karena dalam
masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi,
tapi juga pesta bagi-bagi uang.
Adapun keberhasilan praktik Money Politics pada
tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama.
Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan
penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan dengan
voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika
pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam
pemilihan. Dengan demikian para ’pengkhianat’ sulit dilacak.
Dalam pemilihan kepala daerah maupun
pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money
Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang
berlangsung di negara ini. Money Politics banyak membawa
pengaruh akan peta perpolitikan Nasional serta juga dalam proses yang terjadi
dalam pesta politik. Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang
diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada
persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik.
Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu
orang, satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan
politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang
diterima oleh aktor politik tertentu.
Dalam politik uang (Money Politics)
pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan Gubernur atau Wakil
Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat
beberapa hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini
sangat tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang
berada pada “Ring Dalam” para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan
untuk membeli suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Besarnya harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi
masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju mungkin harga
satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta saja. Namun, untuk
daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi di duga satu
suara sangat variatif berkiasar antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta.
Persoalannya seorang calon harus tahu
benar kapan dana yang dibutuhkan harus dikeluarkan. Dalam permainan politik
uang (Money Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim
suksesnya (TIMSES) harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan
hati-hati ini dilakuakan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan
kepada orang yang tepat sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan
hanya salah sasaran berakibat uang hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko
apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya, dalam
pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon pemilih. Apabila uang
jatuh kepada kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan
menjadi bumerang apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak
akan mendapat perlawanan dari kelompok yang kalah. Terutama banyaknya
pengungkitan dari pihak lawan akan pekerjaan yang dilakukan
oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah.
Pelaku praktek money
politic ini tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam
menjalankan prakteknya tersebut, sehingga setelah dia menerima kekuasaan maka
terjadi penyelewengan kekuasaan seperti eksploitasi APBD, kapitalisasi
kebijakan, dan eksploitasi sumber daya yang ada sebagai timbal-balik atas biaya
besar pada saat pelaku money politik itu melakukan
kampaye.Perlunya penafsiran ulang mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi dalam
menyelesaikan masalah-masalah di pemilu yang terkadang menyalahi aturan UU yang
berlaku. Calon-calon dalam pemilu pasti melakukan kampanye, kampaye ini
memerlukan dana yang tidak sedikit. Banyak pihak-pihak yang membantu pendanaan
dalam melakukan kampanye suatu partai atau perorangan, namun hal ini terkadang
bisa di sebut suatu penyuapan politik. Pihak-pihak yang memberikan pendanaan
biasanya mengharapkan imbalan setelah partai atau perorangan tersebut terpilih
dan memegang kekuasaan.
Solusi untuk Mengatasi
Money Politik
Kita sebagai masyarakat harus ikut
berpartisipasi untuk mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
kasus-kasus pemillu agar tidak menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku.
Calon-calon pada pemilu juga harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan
praktek money politik dan apabila terbukti melakukan maka seharusnya
didiskualifikasi saja. Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi
terjadinya money politic dengan penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini,
misalnya membentuk badan khusus independen untuk mengawasai calon-calon
pemilu agar menaati peraturan terutama untuk tidak melakukan money
politic. Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada publik sumber
pendanaan kampaye oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut. Pemilu mendatang
nampaknya akan diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena
sebagian besar rakyat telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses
politik yang terjadi yang dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala
desa, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil
gubernur. Padahal, salah satu pertimbangan dilakukannya pemilihan langsung
adalah agar praktik Money Politics bisa diminimalisir. Bahkan
dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik Money
Politics menjadi semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan
perundang-undangan yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk
melanggar.
Praktik Money Politics dalam
setiap perhelatan politik tersebutlah yang kemudian menyebabkan masyarakat
tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik dengan Money
Politics. Singkatnya, terbangun pandangan umum bahwa politik uang dalam
setiap kompetisi politik adalah sebuah keharusan. Inilah yang kemudian
menyebabkan semacam pandangan bahwa seolah terdapat empat faktor yang sangat
berpengaruh dalam proses kompetisi politik, yaitu: uang, duit, money, dan
fulus. Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan indikator penting untuk
memudarkan berkembangnya praktek money politic karena
sebagian besar masyarakat hanya memikirkan keuntungan sendiri tanpa menyadari
efek yang timbul di masa depan. Praktek money politic dapat
menghancurkan masa depan negara ini karena praktek money politic ini akan cukup
menguras keuangan suatu partai atau perorangan yang mencalonkan diri pada
pemilu sehingga setelah terpilih di pemilu akan memicu niat untuk tindak
korupsi. Para pelaku praktek money politic ini memanfaatkan
situasi perekonomian rakyat yang semakin sulit sehingga masyarakat jangan mudah
tergiur dengan keuntungan yang diterima sementara ini. Calon pemimpin yang
melakuan money politic tentu tidak berlaku jujur sehingga
sebagai masyarakat yang cerdas jangan mau di pimpin oleh seseorang yang budi
pekertinya tidak baik. Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin akan
berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyatnya.
Sumber-sumber :
·
Hidayat,
Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di
Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.
·
Syafiee,
Innu Kencana. Drs. 1993. Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU).Jakarta:PT.
Rineka Cipta.
·
Money
Politic di Indonesia, http://fahrurozi89.wordpress.com/2009/07/28/money-politic/, tanggal akses: 1 Mei 2012
·
Juliansyah,
Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
·
Antulian,
Rifa’i. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan kepala
daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Komentar
Posting Komentar