HUKUM DAN HAM (HAK HIDUP)
TUGAS MAKALAH

Nama         : Muhammad Agung
   NIM           : B11113045
 
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTG81fwPxDKGelvnz-dsfnpitX6-8cx8DjdI8u534C5nbwPf8R_Ja8urg
KATA PENGANTAR

Puji syukur senangtiasa tersampaikan dalam bibir yang selalu bertasbih kepada Rabbnya Tuhan Semesta Alam atas segala karunia dan rahmatnya sehingga Alhamdulillah tugas Hukum dan Ham ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam tulisan ini penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang belum sempat tertuang kedalam makalah ini, oleh karna banyaknya keterbatasan dari diri penulis baik itu dari segi literature, disiplin keilmuwan dan juga berbagai hal lainnya yang menjadi kendala terkait penulisan makalah ini.
Ada banyak manfaat berupa ilham pandangan tentang HAM itu sendiri yang olehnya akan kita temukan didalam pembahasan, sehingga besar harapan makalah ini dapat menjadi literature maupun bahan rujukan dalam penulisan kedepannya terkait Hak Asasi Manusia, dimana hal itu tentu akan membawa manfaat bagi para praktisi hukum yang akan mengkaji lebih dalam.
Singkat kata tak ubahnya sebuah Ilmu akan datang jika dicari, maka mari mencari dan menggali informasi lebih dalam dengan membaca secara keseluruhan isi yang terkandung didalam Makalah ini.
Makassar, 18 September 2016

                                                                                                         Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh.Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini.HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.
Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Siapakah yang berhak menghilangkan (secara paksa) nyawa seseorang? Ajaran hak asasi manusia menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak hidup, dan tidak seorangpun memiliki hak atau kewenangan untuk menghilangkan nyawa seseorang, dengan alasan apapun. Dikatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk bebas dan hak untuk keamanan diri pribadi.
Konsepsi hak hidup di sini, tentu saja bukan sekedar konsepsi yang bersifat artificial dan terbatas. Jika kita konsisten menggunakan perspektif dari ajaran ini, maka konsep hak hidup berarti suatu jaminan bagi kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Seseorang harus sejauh mungkin dihindari dari kemungkinan hidup secara tidak layak, hidup secara tidak aman, dan hidup dalam keadaan tidak terjamin keselamatan jiwanya.
Keselamatan hidup seseorang, dapat dilihat dari dua sisi, yakni: Pertama, keselamatan dari bentuk-bentuk kekerasan yang vulgar, bersifat fisik dan langsung. Kita mengetahui bahwa satu-satunya pembatas kebebasan seseorang adalah kebebasan orang lain. Artinya, usaha seseorang mencapai kebebasannya, atau usaha untuk dapat hidup secara baik dan layak, harus tidak boleh membatasi atau bahkan melukai orang lain.

B.    Identifikasi Masalah
Makalah singkat ini secara khusus hendak membahas mengenai hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun tersebut dan pengaturannya dalam konstitusi Indonesia. Secara singkat akan dibahas mengenai apa yang dmaksud dengan hak hidup ini sekaligus perdebatan klasik mengenai hak hidup dalam diskursus hak asasi manusia.
1.      Apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia ?
2.      Bagaimana perkembangan Hak Asasi Manusia ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Hak Hidup yang telah dijamin dalam Hak Asasi Manusia yang harus dipenuhi ?
C.   Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, dari apa yang  menjadi Hak Asasi Manusia untuk dicapainya dalam kehidupan ini 
1.      Dapat menjadi bahan pembacaan dari semua insan yang focus pada penggalian tentang Hak Asasi Manusia.
2.      Mengetahui apa yang harus dicapai dalam hak untuk hidup.



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Dan Ciri Pokok Hakikat HAM
a.        Pengertian
-            HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
-            Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
-            John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
-            Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”

b.        Ciri Pokok Hakikat HAM
            Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu:
-    HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
-      HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
-          HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).

B.   Perkembangan Pemikiran HAM
a.        Dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
-     Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang baru.
-      Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
-    Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
-   Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominant dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People and Government.

Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
a)      Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum(Mansyur Effendi,1994).
b)      The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
c)      The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
d)     The Four Freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).

Adapun Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia:
            Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
1.   Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
2.   Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
3.   Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
4.   Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
C.   Jaminan Hak Asasi Manusia Terhadap Hak Untuk Hidup
Ketika individu hendak menyerang individu yang lain, maka harus ada suatu keadaan, tata aturan (hukum) dan mekanisme, sedemikian rupa sehingga serangan tersebut tidak dapat terlaksana. Negara dalam hal ini mengemban suatu kewajiban untuk menjaga agar jangan sampai ada keadaan dimana satu individu menyerang individu yang lain, atau individu membatasi kebebesan dan hak hidup individu yang lain.
Masalah kritis kita adalah bagaimana jika negara tidak menjalankan kewajibannya, dan sebaliknya, aparat koersif justru menyerang warga sipil – dalam mana warga sipil tidak memiliki cukup daya untuk bertahan atau menyelematkan dirinya? Peristiwa peralihan kekuasaan di berbagai negeri, memperlihatkan dengan jelas potensi dan bahkan suatu praktek dimana kekuasaan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, yakni menegakkan hak hidup orang, malah sebaliknya dipergunakan untuk menghilangkan secara paksa. Dalam soal ini, kita membutuhkan gagasan yang lebih komprehensif dan berwawasan nasional (baca: memuat konsepsi kepentingan nasional). Yang kita maksudkan adalah perlunya suatu pemikiran yang lebih dalam dan nyata. Pada satu sisi memperkuat perlindungan pada setiap warga (sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945), dan disisi yang lain tidak membawa akibat pada perlemahan peran negara.
Dari pengalaman berbagai negara, memperlihatkan dengan jelas bagaimana konsepsi hak, mudah dijadikan alat intervensi negara lain – dengan alasan hak asasi manusia. Keadaan yang demikian sejauh mungkin harus dihindari. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita sebagai bangsa, menggali pemikiran yang lebih mencerminkan kesungguhan untuk menjadikan negara sebagai organisasi kekuasaan yang secara nyata melindungi setiap warganya. Kedua, keselamatan dari bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat tidak tampak, namun sistematik dan berdampak nyata. Kemiskinan adalah kekerasan yang nyata, namun jarang dipandang sebagai suatu bentuk kekerasan yang secara sistematis mengurangi atau bahkan akan menghilangkan hak hidup seseorang. Kasus-kasus penolakan rumah sakit pada pasien dari keluarga miskin, adalah contoh kongkrit dari tindakan kekerasan, yang membuat seseorang dalam keadaan terancam keselamatan jiwanya.
Kalau kita membuka realitas kemiskinan, maka terbuka suatu kenyataan dimana kemiskinan merupakan keadaan yang sedemikian rupa sehingga seseorang atau sekelompok orang tidak mampu menggunakan seluruh potensi kemanusiaannya. Hak orang untuk mendapatkan pendidikan yang mencerahkan; hak orang untuk mendapatkan makanan yang layak bagi kemanusiaan; hak orang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan; dst. Jika ada pihak yang memiliki hak, maka siapa yang harus menjaga agar hak tersebut memiliki makna dan dapat diwujudkan? Siapakah yang harus ikut bertanggungjawab agar nyawa seorang pasien terselamatkan oleh pelayanan rumah sakit yang baik?
Pada titik inilah diskusi kita tentang kehadiran negara menjadi penting. Negara tidak hadir sebagai penjaga dari segelintir pihak, sebaliknya negara harus hadir bagi semua, dan khususnya, bagi mereka yang membutuhkan pertolongan, agar hak hidupnya menjadi punya makna. Pada sisi yang lain, kebutuhan akan kehadiran negara yang penuh, tentu bukan menjadi dasar pembenar bagi negara untuk melakukan tindakan yang justru menghilangkan hak hidup manusia. Kita hendak mengatakan bahwa negara hadir untuk suatu maksud, dengan muaranya adalah kehidupan (realisasi hak hidup) dan kesejahteraan warga negara (mengisi kehidupannya, dengan keadaan yang meninggikan derajat kemanusiaan). Mengkaji Pasal 28I UUD 1945, tak akan dapat dilepaskan dari perjanjian internasional HAM yang mengatur mengenai non-derogable rights, alias hak yang tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun juga. Ketentuan ini dalam hukum internasional dikenal melalui rejim Pasal 4 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Secara ringkas disana disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, negara peserta ICCPR dapat menunda maupun mengurangi penikmatan hak-hak yang ada di dalam ICCPR. Keadaan yang dimaksud oleh Pasal 4 ayat (1) itu adalah ketika negara dalam keadaan darurat, keadaan mana harus dilaporkan oleh negara yang bermaksud melakukan penundaan itu pada semua negara pihak ICCPR melalui Sekretaris Jenderal PBB. Tidak semua keadaan genting dapat menjadi pembenar adanya penundaan atau pengurangan HAM. Hanyalah jika memang dikehendaki oleh keadaan, maka sutu hak tertentu bisa dikurangi penikmatannya.
Pasal 4 (2) ICCPR kemudian menentukan bahwa dalam keadaan darurat sekalipun, meskipun suatu negara dalam keadaan emergency, maka tidak diperbolehkan adanya penundaan atau pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak itu ialah sebagaimana dicantumkan dalam beberapa pasal dalam ICCPR yang mengatur mengenai right to life, hak untuk tidak disiksa, tidak diperlakukan kejam dan merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara hanya karena ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut,  hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak berkeyakinan dan beragama.
Rumusan UUD 1945 dalam hal ini Pasal 28I ayat (1) dalam hal ini memiliki semangat yang sama dengan ICCPR. Bahwa dalam prinsipnya terdapa beberapa hak dan kebebasan asasi manusia  yang dapat dibatasi, bahkan ditunda dikurangi penikmatannya dalam keadaan-keadaan tertentu. Namun begitu, ada beberapa hak yang terbilang sebagai hak yang tak dapat dikurangi penikmatannya dalam keadaan apapun. Pengurangan mana akan mendapat stigma sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Kendati terdapat perbedaan di sana sini antara UUD 1945 dan ICCPR (misalnya dengan tidak dinyatakannya  oleh UUD 1945 hak untuk  tidak diperlakukan maupun dihukum secara kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan sebagai hak yang tak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun) namun hak hidup adalah hak yang sama-sama dinyatakan dalam kedua instrumen sebagai hak yang terbilang sebagai non-derogable right.
Hak hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 28A adalah hak yang mendasar bagi setiap manusia. Segala hak dan kebebasasn hanya bisa dinikmati jika manusia dalam keadaan hidup. Tak mengherankan jika hak ini dicantumkan di dalam Pasal pembuka Bab XA yng mengatur mengenai hak asasi manusia. Disebutkan dalam Pasal 28A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya. Membicarakan hak hidup orang kerapkali menghubungkan dengan pidana mati, ataupun hukuman mati. Padahal sesungguhnya hak hidup ini seharusnya memiliki konotasi yang lebih luas,  yakni kewajiban negara untuk memastikan bahwa setiap ibu melahirkan dapat menjalani persalinan dengan selamat. Atau lagi; kewajiban negara untuk memastikan  bahwa taida satupun orang  di dalam jurisdiksi suatu negara boleh mati karena kelaparan atau penyakit yang sesungguhnya bisa tertangani.
Terkait dengan hukuman mati, terdapat dua aliran besar, yang menolak dan menyetujui. Mereka yang menolak pidana mati berkeyakinan bahwa pidana mati tidak terbukti memilijki efek jera karena walaupun pidana mati telah dijalankan, masih banyak orang yang melakukan tindak pidana. Lebih lanjut pidana mati menutup kemungkinan adanya koreksi jika terjadi kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa hukuman mati harus dipertahankan berkeyakinan bahwa inilah satu-satunya cara bagi masyarakat untuk menghindarkan diri dari kecelakaan lebih besar: dengan merampas nyawa pelaku pidana.
Memahami  hak hidup ini dalam kerangka hak asasi manusia sebenarnyalah harus dilakukan secara utuh dengan mengkaitkannya dengan spirit hukum internasional. Paal 6 ayat (1) ICCPR  tak semata-mata merumuskan dengan cukup singkat sebagaimana Pasal 28A, namun dengan menyatakan “tiap-tiap orang memiliki hak yang melekat untuk hidup”, yang kemudian dilanjutkan dengan frasa “hak ini haruslah dirlindungi oleh hukum”, dan kemudian dengan frasa “tak seorangpun dapat dirampas nyawanya secara sewenang-wenang”. Dalam konteks inilah hak hidup dan jaminan untuk tidak dirampasnya nyawa secara sewenang wenang harus dipahami. Artinya sebenarnya perampasan nyawa secara sewenang-wenang itulah yang tidak dikehendaki oleh norma hukum hak asasi manusia. Perampasan nyawa secara tidak sewenang-wenang yakni melalui  pengadilan oleh karenanya bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Silang sengketa hukuman mati di Indonesia dalam perspektif hukum ketatanegaraan telah selesai dengan Putusan MK berkaitan dengan uji UU No 22 Tahun 1997. Dalam putusan yang  dibacakan pada 30 Oktober 2007 tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hukuman mati sebagaimana terdapat dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan konstitusi. Ketua MK kala itu Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa hukuman mati ini tidak bertentangan dengan ICCPR karena Pasal 6 ayat (2) ICCPR sendiri menyatakan bahwa negara peserta yang masih menerapkan hukuman mati agar menerapkan hukuman tersebut pada tindak pidana-tindak pidana yang paling serius. Jimly menyatakan pula bahwa hak asasi dibatasi oleh ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib  kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hakim Konstitusi yang lain H.A.S Natabaya mengemukakan bahwa sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) Indonesia harus patuh pula pada protokol Kairo yang menyatakan hak hidup sebagai  karunia Tuhan yang hanya bisa dibatasi oleh putusan hukum/syariah.



BAB III
PENUTUP

Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, perdebatan mengenai hukuman mati dan kaitannya dengan hak hiidup sebenarnya telah selesai. Putusan MK adalah hukum yang harus dipatuhi oleh siapapun, mengikat publik dan final sifatnya. Perampasan nyawa, sepanjang tidak sewenang-wenang, maka hal yang dapat dibenarkan dan bukan pelanggaran hak asasi manusia. Lebih jauh adalah penting untuk tidak memandang permasalahan hak hidup ini melulu dengan mengkaitkannya dengan persoalan pro kontra hukuman mati. Hak hidup harus secara kritis dikaitkan dengan kewajiban negara untuk mengupayakan setiap orang yang berada dalam jurisdiksinya untuk tetap survive, tiada  kelaparan yang mengakibatkan kematian, tiada malapetaka dan wabah penyakit yang mematikan. Memahami hak hidup dalam kointeks selain pidana mati seperti demikian akan lebih positif bagi perjuangan dan klaim atas berbagai hak dan kebebasan dasar manusia lainnya.

[1] Makalah disampaikan dalam Obrolan Konsitusi Kerjasama Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum UNSOED dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Studio Radio Republik Indonesia Purwokerto, 30 September 2011.
[2] Dosen Fakultas Hukum UNSOED Purwokerto


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Profesi Hukum

Kekerasan Terhadap Pemuka Agama