HUKUM
DAN HAM (HAK HIDUP)
TUGAS
MAKALAH
|
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur senangtiasa tersampaikan dalam bibir yang selalu bertasbih kepada
Rabbnya Tuhan Semesta Alam atas segala karunia dan rahmatnya sehingga
Alhamdulillah tugas Hukum dan Ham ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam
tulisan ini penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang belum sempat tertuang
kedalam makalah ini, oleh karna banyaknya keterbatasan dari diri penulis baik
itu dari segi literature, disiplin keilmuwan dan juga berbagai hal lainnya yang
menjadi kendala terkait penulisan makalah ini.
Ada
banyak manfaat berupa ilham pandangan tentang HAM itu sendiri yang olehnya akan
kita temukan didalam pembahasan, sehingga besar harapan makalah ini dapat
menjadi literature maupun bahan rujukan dalam penulisan kedepannya terkait Hak
Asasi Manusia, dimana hal itu tentu akan membawa manfaat bagi para praktisi
hukum yang akan mengkaji lebih dalam.
Singkat
kata tak ubahnya sebuah Ilmu akan datang jika dicari, maka mari mencari dan
menggali informasi lebih dalam dengan membaca secara keseluruhan isi yang
terkandung didalam Makalah ini.
Makassar,
18 September 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak
merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang
terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga
merupakan sesuatu yang harus diperoleh.Masalah HAM adalah sesuatu hal yang
sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini.HAM lebih
dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era
sebelum reformasi. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia
sejak manusia itu dilahirkan.
Sebagai
manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi
manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat
universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun. Siapakah yang berhak menghilangkan (secara paksa) nyawa
seseorang? Ajaran hak asasi manusia menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak
hidup, dan tidak seorangpun memiliki hak atau kewenangan untuk menghilangkan
nyawa seseorang, dengan alasan apapun. Dikatakan bahwa setiap orang memiliki
hak untuk hidup, hak untuk bebas dan hak untuk keamanan diri pribadi.
Konsepsi
hak hidup di sini, tentu saja bukan sekedar konsepsi yang bersifat artificial
dan terbatas. Jika kita konsisten menggunakan perspektif dari ajaran ini, maka
konsep hak hidup berarti suatu jaminan bagi kehidupan yang lebih baik dan
bermakna. Seseorang harus sejauh mungkin dihindari dari kemungkinan hidup
secara tidak layak, hidup secara tidak aman, dan hidup dalam keadaan tidak
terjamin keselamatan jiwanya.
Keselamatan
hidup seseorang, dapat dilihat dari dua sisi, yakni: Pertama, keselamatan dari
bentuk-bentuk kekerasan yang vulgar, bersifat fisik dan langsung. Kita
mengetahui bahwa satu-satunya pembatas kebebasan seseorang adalah kebebasan
orang lain. Artinya, usaha seseorang mencapai kebebasannya, atau usaha untuk
dapat hidup secara baik dan layak, harus tidak boleh membatasi atau bahkan
melukai orang lain.
B. Identifikasi Masalah
Makalah
singkat ini secara khusus hendak membahas mengenai hak hidup sebagai hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun tersebut dan pengaturannya dalam
konstitusi Indonesia. Secara singkat akan dibahas mengenai apa yang dmaksud
dengan hak hidup ini sekaligus perdebatan klasik mengenai hak hidup dalam
diskursus hak asasi manusia.
1. Apa yang dimaksud dengan Hak Asasi
Manusia ?
2. Bagaimana perkembangan Hak Asasi
Manusia ?
3. Apa yang dimaksud dengan Hak Hidup
yang telah dijamin dalam Hak Asasi Manusia yang harus dipenuhi ?
C. Tujuan
Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini,
dari apa yang menjadi Hak Asasi Manusia
untuk dicapainya dalam kehidupan ini
1.
Dapat menjadi bahan pembacaan dari semua insan
yang focus pada penggalian tentang Hak Asasi Manusia.
2.
Mengetahui apa yang harus dicapai dalam hak untuk
hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Dan Ciri Pokok Hakikat HAM
a. Pengertian
-
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya
(Kaelan: 2002).
-
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human
Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM
adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil
dapat hidup sebagai manusia.
-
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
-
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia”
b. Ciri Pokok
Hakikat HAM
Berdasarkan
beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri
pokok hakikat HAM yaitu:
- HAM tidak perlu diberikan,
dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
- HAM berlaku untuk
semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik
atau asal-usul sosial dan bangsa.
- HAM
tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara
membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
B. Perkembangan
Pemikiran HAM
a. Dibagi dalam
4 generasi, yaitu :
- Generasi pertama
berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik.
Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan
oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan
Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang
baru.
- Generasi kedua
pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial,
ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan
perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi
kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan
dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
- Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran
HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak
ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu keranjang yang disebut
dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran
HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan
terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama,
sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena
banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
- Generasi keempat yang mengkritik peranan
negara yang sangat dominant dalam proses pembangunan yang terfokus pada
pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya aspek
kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak
berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan
sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara
di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia
yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People and Government.
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
a)
Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa
lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara
lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja
yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang
dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung
jawabannya dimuka hukum(Mansyur Effendi,1994).
b) The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya
The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan
Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam
perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
c) The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French
Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci
lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak
boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip
presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan
dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
d) The Four Freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan
pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama
yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap
bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi
penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan
persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan
untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).
Adapun Perkembangan
pemikiran HAM di Indonesia:
Pemikiran HAM
periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah
hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak
kemerdekaan.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia
telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949,
berlaku UUD 1945
2. Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950,
berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
3. Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
4. Periode 5 Juli 1959
sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
C. Jaminan Hak Asasi Manusia Terhadap Hak Untuk
Hidup
Ketika
individu hendak menyerang individu yang lain, maka harus ada suatu keadaan,
tata aturan (hukum) dan mekanisme, sedemikian rupa sehingga serangan tersebut
tidak dapat terlaksana. Negara dalam hal ini mengemban suatu kewajiban untuk
menjaga agar jangan sampai ada keadaan dimana satu individu menyerang individu
yang lain, atau individu membatasi kebebesan dan hak hidup individu yang lain.
Masalah
kritis kita adalah bagaimana jika negara tidak menjalankan kewajibannya, dan
sebaliknya, aparat koersif justru
menyerang warga sipil – dalam mana warga sipil tidak memiliki cukup daya untuk
bertahan atau menyelematkan dirinya? Peristiwa peralihan kekuasaan di berbagai
negeri, memperlihatkan dengan jelas potensi dan bahkan suatu praktek dimana
kekuasaan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, yakni menegakkan hak hidup
orang, malah sebaliknya dipergunakan untuk menghilangkan secara paksa. Dalam
soal ini, kita membutuhkan gagasan yang lebih komprehensif dan berwawasan
nasional (baca: memuat konsepsi kepentingan nasional). Yang kita maksudkan
adalah perlunya suatu pemikiran yang lebih dalam dan nyata. Pada satu sisi
memperkuat perlindungan pada setiap warga (sebagaimana yang termuat dalam
Pembukaan UUD 1945), dan disisi yang lain tidak membawa akibat pada perlemahan
peran negara.
Dari
pengalaman berbagai negara, memperlihatkan dengan jelas bagaimana konsepsi hak,
mudah dijadikan alat intervensi negara lain – dengan alasan hak asasi manusia.
Keadaan yang demikian sejauh mungkin harus dihindari. Oleh sebab itu, sudah
saatnya kita sebagai bangsa, menggali pemikiran yang lebih mencerminkan
kesungguhan untuk menjadikan negara sebagai organisasi kekuasaan yang secara
nyata melindungi setiap warganya. Kedua, keselamatan dari bentuk-bentuk
kekerasan yang bersifat tidak tampak, namun sistematik dan berdampak nyata.
Kemiskinan adalah kekerasan yang nyata, namun jarang dipandang sebagai suatu
bentuk kekerasan yang secara sistematis mengurangi atau bahkan akan
menghilangkan hak hidup seseorang. Kasus-kasus penolakan rumah sakit pada
pasien dari keluarga miskin, adalah contoh kongkrit dari tindakan kekerasan,
yang membuat seseorang dalam keadaan terancam keselamatan jiwanya.
Kalau
kita membuka realitas kemiskinan, maka terbuka suatu kenyataan dimana
kemiskinan merupakan keadaan yang sedemikian rupa sehingga seseorang atau
sekelompok orang tidak mampu menggunakan seluruh potensi kemanusiaannya. Hak
orang untuk mendapatkan pendidikan yang mencerahkan; hak orang untuk
mendapatkan makanan yang layak bagi kemanusiaan; hak orang untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan; dst. Jika ada pihak yang memiliki hak, maka siapa yang
harus menjaga agar hak tersebut memiliki makna dan dapat diwujudkan? Siapakah
yang harus ikut bertanggungjawab agar nyawa seorang pasien terselamatkan oleh
pelayanan rumah sakit yang baik?
Pada
titik inilah diskusi kita tentang kehadiran negara menjadi penting. Negara
tidak hadir sebagai penjaga dari segelintir pihak, sebaliknya negara harus
hadir bagi semua, dan khususnya, bagi mereka yang membutuhkan pertolongan, agar
hak hidupnya menjadi punya makna. Pada sisi yang lain, kebutuhan akan kehadiran
negara yang penuh, tentu bukan menjadi dasar pembenar bagi negara untuk
melakukan tindakan yang justru menghilangkan hak hidup manusia. Kita hendak
mengatakan bahwa negara hadir untuk suatu maksud, dengan muaranya adalah
kehidupan (realisasi hak hidup) dan kesejahteraan warga negara (mengisi
kehidupannya, dengan keadaan yang meninggikan derajat kemanusiaan). Mengkaji
Pasal 28I UUD 1945, tak akan dapat dilepaskan dari perjanjian internasional HAM
yang mengatur mengenai non-derogable rights, alias hak yang tidak
dapat dikurangkan dalam keadaan apapun juga. Ketentuan ini dalam hukum
internasional dikenal melalui rejim Pasal 4 ayat (1) International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR) Secara ringkas disana disebutkan
bahwa dalam keadaan tertentu, negara peserta ICCPR dapat menunda maupun
mengurangi penikmatan hak-hak yang ada di dalam ICCPR. Keadaan yang dimaksud
oleh Pasal 4 ayat (1) itu adalah ketika negara dalam keadaan darurat, keadaan
mana harus dilaporkan oleh negara yang bermaksud melakukan penundaan itu pada
semua negara pihak ICCPR melalui Sekretaris Jenderal PBB. Tidak semua keadaan
genting dapat menjadi pembenar adanya penundaan atau pengurangan HAM. Hanyalah
jika memang dikehendaki oleh keadaan, maka sutu hak tertentu bisa dikurangi
penikmatannya.
Pasal
4 (2) ICCPR kemudian menentukan bahwa dalam keadaan darurat sekalipun, meskipun
suatu negara dalam keadaan emergency, maka tidak diperbolehkan adanya
penundaan atau pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak itu ialah
sebagaimana dicantumkan dalam beberapa pasal dalam ICCPR yang mengatur mengenai
right to life, hak untuk tidak disiksa, tidak diperlakukan kejam dan
merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara hanya karena
ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum
yang berlaku surut, hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak
berkeyakinan dan beragama.
Rumusan
UUD 1945 dalam hal ini Pasal 28I ayat (1) dalam hal ini memiliki semangat yang
sama dengan ICCPR. Bahwa dalam prinsipnya terdapa beberapa hak dan kebebasan
asasi manusia yang dapat dibatasi, bahkan ditunda dikurangi penikmatannya
dalam keadaan-keadaan tertentu. Namun begitu, ada beberapa hak yang terbilang
sebagai hak yang tak dapat dikurangi penikmatannya dalam keadaan apapun.
Pengurangan mana akan mendapat stigma sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Kendati terdapat perbedaan di sana sini antara UUD 1945 dan ICCPR (misalnya
dengan tidak dinyatakannya oleh UUD 1945 hak untuk tidak
diperlakukan maupun dihukum secara kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan
sebagai hak yang tak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun) namun hak hidup
adalah hak yang sama-sama dinyatakan dalam kedua instrumen sebagai hak yang
terbilang sebagai non-derogable right.
Hak
hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 28A adalah hak yang mendasar bagi setiap
manusia. Segala hak dan kebebasasn hanya bisa dinikmati jika manusia dalam
keadaan hidup. Tak mengherankan jika hak ini dicantumkan di dalam Pasal pembuka
Bab XA yng mengatur mengenai hak asasi manusia. Disebutkan dalam Pasal 28A
bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Membicarakan hak hidup orang kerapkali menghubungkan dengan
pidana mati, ataupun hukuman mati. Padahal sesungguhnya hak hidup ini
seharusnya memiliki konotasi yang lebih luas, yakni kewajiban negara
untuk memastikan bahwa setiap ibu melahirkan dapat menjalani persalinan dengan
selamat. Atau lagi; kewajiban negara untuk memastikan bahwa taida satupun
orang di dalam jurisdiksi suatu negara boleh mati karena kelaparan atau
penyakit yang sesungguhnya bisa tertangani.
Terkait
dengan hukuman mati, terdapat dua aliran besar, yang menolak dan menyetujui.
Mereka yang menolak pidana mati berkeyakinan bahwa pidana mati tidak terbukti
memilijki efek jera karena walaupun pidana mati telah dijalankan, masih banyak
orang yang melakukan tindak pidana. Lebih lanjut pidana mati menutup
kemungkinan adanya koreksi jika terjadi kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan
mereka yang berpendapat bahwa hukuman mati harus dipertahankan berkeyakinan
bahwa inilah satu-satunya cara bagi masyarakat untuk menghindarkan diri dari
kecelakaan lebih besar: dengan merampas nyawa pelaku pidana.
Memahami hak
hidup ini dalam kerangka hak asasi manusia sebenarnyalah harus dilakukan secara
utuh dengan mengkaitkannya dengan spirit hukum internasional. Paal 6 ayat (1)
ICCPR tak semata-mata merumuskan dengan cukup singkat sebagaimana Pasal
28A, namun dengan menyatakan “tiap-tiap orang memiliki hak yang melekat untuk
hidup”, yang kemudian dilanjutkan dengan frasa “hak ini haruslah dirlindungi
oleh hukum”, dan kemudian dengan frasa “tak seorangpun dapat dirampas nyawanya
secara sewenang-wenang”. Dalam konteks inilah hak hidup dan jaminan untuk tidak
dirampasnya nyawa secara sewenang wenang harus dipahami. Artinya sebenarnya
perampasan nyawa secara sewenang-wenang itulah yang tidak dikehendaki oleh
norma hukum hak asasi manusia. Perampasan nyawa secara tidak sewenang-wenang yakni
melalui pengadilan oleh karenanya bukan merupakan pelanggaran hak asasi
manusia.
Silang
sengketa hukuman mati di Indonesia dalam perspektif hukum ketatanegaraan telah
selesai dengan Putusan MK berkaitan dengan uji UU No 22 Tahun 1997. Dalam
putusan yang dibacakan pada 30 Oktober 2007 tersebut, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa hukuman mati sebagaimana terdapat dalam UU Narkotika tidak
bertentangan dengan konstitusi. Ketua MK kala itu Jimly Asshidiqie menyatakan
bahwa hukuman mati ini tidak bertentangan dengan ICCPR karena Pasal 6 ayat (2)
ICCPR sendiri menyatakan bahwa negara peserta yang masih menerapkan hukuman
mati agar menerapkan hukuman tersebut pada tindak pidana-tindak pidana yang
paling serius. Jimly menyatakan pula bahwa hak asasi dibatasi oleh ketentuan
Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Hakim Konstitusi yang lain H.A.S Natabaya mengemukakan bahwa
sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) Indonesia harus patuh pula
pada protokol Kairo yang menyatakan hak hidup sebagai karunia Tuhan yang
hanya bisa dibatasi oleh putusan hukum/syariah.
BAB III
PENUTUP
Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
perdebatan mengenai hukuman mati dan kaitannya dengan hak hiidup sebenarnya
telah selesai. Putusan MK adalah hukum yang harus dipatuhi oleh siapapun,
mengikat publik dan final sifatnya. Perampasan nyawa, sepanjang tidak
sewenang-wenang, maka hal yang dapat dibenarkan dan bukan pelanggaran hak asasi
manusia. Lebih jauh adalah penting untuk tidak memandang permasalahan hak hidup
ini melulu dengan mengkaitkannya dengan persoalan pro kontra hukuman mati. Hak
hidup harus secara kritis dikaitkan dengan kewajiban negara untuk mengupayakan
setiap orang yang berada dalam jurisdiksinya untuk tetap survive,
tiada kelaparan yang mengakibatkan kematian, tiada malapetaka dan wabah
penyakit yang mematikan. Memahami hak hidup dalam kointeks selain pidana mati
seperti demikian akan lebih positif bagi perjuangan dan klaim atas berbagai hak
dan kebebasan dasar manusia lainnya.
[1]
Makalah disampaikan dalam Obrolan Konsitusi Kerjasama Pusat Kajian Konstitusi
Fakultas Hukum UNSOED dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Studio
Radio Republik Indonesia Purwokerto, 30 September 2011.
[2]
Dosen Fakultas Hukum UNSOED Purwokerto
Komentar
Posting Komentar