Kritik
Terhadap Pilkada Secara Langsung
Berbagai
perubahan yang terjadi dari masa ke masa terhadap penyelenggaraan pesta
demokrasi di Indonesia, itu telah menunjukan bahwa demokratisasi di Indonesia
masih dan akan terus menuju proses demokrasi yang diinginkan oleh seluruh
rakyat indonesia. Oleh karenanya pemberian makna atas demokrasi itu sendiri
merupakan hal terpenting dalam reformasi dan perbaikan hidup bernegara.
Terlebih cita-cita akan tegaknya demokrasi di negeri ini telah ada sejak negeri
ini diprolakmasikan tahun 1945.
Arti
bahwa pilkada langsung sebagian dari proses demokratisasi adalah bahwa ia
hanyalah merupakan sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya, yaitu
tegaknya prinsip dan nilai demokrasi. Pilkada langsung bukanlah satu tujuan,
melainkan sebagai alat atau sarana sehingga sevara sederhana dapat dikatakan
bahwa dengan terselenggarakannya pilkada langsung tidak serta merta demokrasi
akan terjadi, bila pilkada langsung itu dilaksanakn seenaknya dan mengabaikan
nilai-nilai demokrasi universal dalam melaksanakanya.
Jauh
sebelum setelah dimulainya pemilihan kepala daerah itu hanya melalui sistem
perwakilan atau melalui DPRD, setelah berlangsungnya beberapa tahun maka
muncullah inisiatif untuk pemilihan kepala daerah harus juga melalui rakyat itu
sendiri, dengan berpegang teguh pada demokrasi, sama halnya pemilihan presiden
dan pemilihan legislatif.
Sejak
juni 2005, bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan
penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala daerah, baik
bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung
oleh DPRD, sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses
pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada Langsung.
Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU
no.32/2004 tentang Pemerintah Daerah tentang Tata cara pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Pilihan
Terhadap sistem pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan koreksi atas
pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD. Digunakannya
sestem pemilihan langsung menunjukkan perkembangan penataan format demokrasi
daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi politik. Tentu saja,
dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optisme dan pesimisme
tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian hak-hak
dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam tangka
rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendinamisir kehidupan demokrasi di tingkat
lokal. Keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang
demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada
kritisisme dan rasionalitas rakyat sendiri.
Menjelang
penetapan RUU Pilkada pada tanggal 25 September 2014 mendatang, perdebatan
apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung atau melalui
DPRD, masih terus berlanjut. Bahkan dibeberapa kesempatan, baik pihak yang pro
maupun kontra, cenderung mengarah kepada sinisme politik. RUU Pilkada merupakan
salah satu agenda legislasi DPR yang sudah melalui pembahasan yang cukup
panjang. Namun pembahasan RUU Pilkada menjadi pusat perhatian publik ketika
sikap fraksi-fraksi di DPR terpecah menjadi 2 (dua) kubu, sebagian mendukung
secara langsung, dan sebagian lainnya menginginkan agar dikembalikan ke DPRD.
Dalam catatan Pansus RUU Pilkada, pada bulan Januari hinga bulan Mei 2014,
sikap seluruh fraksi di DPR masih bulat menyatakan setuju agar Pilkada
dilakukan secara langsung. Namun sikap sebagian fraksi seketika berubah pasca
pemilihan presiden 9 Juli 2014. Perubahan sikap ini sangat erat kaitannya
dengan hasil pemilihan presiden yang memenangkan Jokowi sebagai Presiden
terpilih. Artinya, isu dan perdebatan mengenai RUU Pilkada yang begitu hangat
diberbagai media, cenderung dibangun secara top-down. Tidak melibatkan
partisipasi rakyat secara luas dan terbuka. Atas dasar ini pula, isu RUU
Pilkada dicap terlalu elitis atau hanya menjadi konsumsi elit-elit politik yang
ada diparlemen saja.
Elitisme
isu ini pada akhirnya membangun stigma yang tidak sehat. Mereka yang setuju
untuk mempertahakan Pilkada agar tetap dilakukan secara langsung, cenderung
dicap sebagai bagian dari kubu koalisi revolusi mental Jokowi. Sebaliknya,
mereka yang menginginkan agar Pilkada dikembalikan ke DPRD, dicap sebagai
bagian dari koalisi merah putih Prabowo. Dikotomi inilah yang harus dibuang
terlebih dahulu jika ingin membangun perspektif aturan Pilkada yang objektif
dan memihak kepentingan rakyat secara luas. Isu RUU Pilkada harus ditempatkan
sebagai persoalan bersama yang tidak hanya dikunci diruang elit, tetapi harus
ditarik dan digeser menjadi ruang publik.
Pilkada
langsung tentu menimbulkan banyak problem, implikasi politik, dan dampak sosial
ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Banyak wacana-wacana yang muncul
dengan mengkritik tentang pilkada langsung , tetapi ada juga wacana yang
memberi penjelasan tentang dampak pilkada pada proses penciptaan pemerintahan
yang responsif dan implikasi-implikasi sosial politik.
` Setelah diundangkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
dan diderivasi berbagai penjelasan teknisnya oleh PP no 6 tahun 2005 tentang
pemilihan, Pengesahaan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika
lokalisme polirik di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung
merupakan sebuah ikhtiar demokratisasi yang semakin menunjukan orientasi
yang jelas, yakni penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada diatas
berbaai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan
bahkan terkesan menghegemoni.
Keputusan
untuk memilih sistem pilkada langsung bukan datang dengan tiba-tiba. Banyak
faktor yang mendukung percepatan digunakannya sistem langsung tersebut, dengan
semangat utamanya memperbaiki kehidupan demokrasi.
Adapun
yang menjadi kritik terhadap pemilhan kepala daerah melalui secara langsung
atau melalui rakyat yang jauh sebelumnya sudah terjadi sekitar 10 tahun, lalu
kemudian pada tahun 2014 UU No 23 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah masuk
sebagai PROLEGNAS di DPR untuk direvisi, sehingga muncullah perdebatan atau
kritik antara Pilkada Langsung dengan Pilkada tidak langsung yang masing-masing
merupakan proses demokratisasi menuju demokrasi. Kritik yang terjadi pada
pandangan penulis terhadap Pemilhan Kepala Daerah secara langsung atau melalui
rakyat itu sendiri adalah sebagai berikut :
·
Pertama, kita tidak boleh ahistori
atau lupa terhadap perjalanan reformasi. Keberadaan UU 22 Tahun 1999 hingga
lahirnya UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memiliki spirit untuk
menjamin akses politik bagi rakyat ditingkat lokal yang melalui perwakilan atau
anggota DPRD. Bahkan didalam naskah akademik RUU Pemerintahan Daerah pada tahun
2004, disebutkan bahwa dalam kurung waktu tahun 1999-2004, lalu kemudian tahun
2014 DPR merevisi Undang-undang tersebut.
·
Kedua, ruang kritik publik
terhadap pemimpin yang melalui anggota DPRD tingkat lokal menjadi tugas mereka
selaku pengawas dan perwakilan yang betul-betul akan memilih pemimpin yang
berintegritas.
·
Ketiga, alasan biaya mahal yang
disandingkan dengan upaya penghematan anggaran hingga 41 triliun, saya rasa
tepat untuk digunakan sebagai dasar mengembalikan pilkada ke DPRD. Sehingga
anggaran tersebut bisa diperuntukkan kealokasi yang lebih bermanfaat yang
langsung bersentuhan langsung kemasyarakat atau sosial.
·
Keempat, tafsir konstitusi
terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa kata
“demokratis” tidak harus melalui pemilihan secara langsung. Dalam konteks
Negara modern, terlebih Negara yang menjalankan sistem demokrasi seperti
Indonesia, pemilihan secara tidak langsung pun melalui DPRD adalah perwujudan
kedaulatan di tangan rakyat. Demokrasi perwakilan yang tersimbolisasi melalui
pemilihan anggota DPRD, sama dimensi dengan pemilihan kepala daerah. Bahkan
tafsir terhadap Sila ke-4 Pancasila mengenai “permusyawaratan/Perwakilan“.
·
Kelima, besarnya daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah provinsi untuk
pemilihan gubernur, dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati,
menyebabkan proses kampanya sulit dikendalikan. Sehingga hal seperti inilah
yang sering terjadi pada permasalahan suara pada calon, sehingga sering terjadi
kekacauan.
·
kelompok kontra berpendirian bahwa
pilkada langsung merupakan ide dan keputusan prematur untuk tidak relevan
peningkatan kualitas demokrasi karena kalitas demokrasi di daerah lebih
ditentukan oleh faktor lain terutama kualitas anggota DPRD dan kualitas
pemilih. Bagi kelompok kontra, pemilih masih bersifat konservatif dan
patriarkhi sehingga pilkada langsung bisa menimbulkan bias demokrasi.
Banyaknya
kritik dari pilkada langsung bukan untuk menyurutkan langkah atas pelaksanaan
pilkada langsung, melainkan berbagai kritik yang muncul justru menjadi
inspirasi dan motivator bagi pilkada langsung agar pelaksanaanya dapat berjalan
lebih baik lagi. Berbagai kritik yang ada juga dapat menjaga kita agar tidak
sombong.
Harus
menjadi kesadaran semua pihak bahwa dalam pelaksanaan pilkada langsung
dibutuhkan banyak pembenahan. Antara lain pembenahan manajemen kelembagaan,
yang menyangkut kelembagaan pelaksanan pilkada langsung seperti KUPD, DPRD,
pemda hingga pemantau. Kemudian penguatan partai politik yang harus cerdas
mungkin menempatkan calon yang cerdas baik secara intelektual maupun moral.
Serta yang paling penting adalah melakukan pencerahan kepada masyarakat dalam
pelaksanaan pilkada langsung agar dalam memilih tidak lagi berdasarkan pada
alasan yang pendek, melainkan memilih atas kesadaraan penuh akan kemajuan
daerahnya dan bangsa Indonesia dalam jangka waktu yang panjang.
Komentar
Posting Komentar