Agama dan Ketidakpemerataan

Agama dan Ketidakpemerataan bergandeng Tangan
Sejak masa Francoise Voltaire, para ilmuwan dan cendekiawan memperkirakan bahwa agama secara bertahap akan punah. Hal itu dilihat karena tidak dapat menyatu dan tak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan modernisasi dan pemikiran rasional. Para ilmuwan sosiologi di masa silam juga memperkirakan masyarakat di masa datang akan terbawa oleh pemahaman sekularisme. Kalangan teoritisi menunggu mengenai kebenaran dari hasil teori mereka. Hal ini dikaitkan dengan tingkat kemajuan pendidikan, pengetahuan, medis kesehatan tingkat kualitas hidup yang berkembang di abad ke 20 yang menggusur kebiasaan supertisi primitif di planit bumi ini. 
Kemajuan kualitas hidup turut menyemarakkan pemahaman sekularisme. Dua ilmuwan Amerika masing-masing Pippa Norris dari Universitas Harvard dan Ronald Inglehart dari Universitas Michigan, dalam hasil penelitian mereka pada buku Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide (Cambridge Studies in Social Theory, Religion and Politics, Cambridge Univ. Press, Oktober 2011) berpendapat bahwa pada umumnya masyarakat mengarah kepada agama karena terdesak oleh tekanan hidup. Sementara Negara-negara yang mengalami krisis kemiskinan memilih unsur sektarian. Sementara negeri-negeri makmur kian menjadi sekuler. 
Memang penyebab ketidak nyamanan suatu keadaan ataupun kemelut bukan menjadi penyebab utama hingga masyarakat mendekatkan diri pada agama. Ambil contoh kemiskinan berkepanjangan di Cina daratan ataupun Vietnam. Melalui cara kekerasan di masa penyebaran ideology komunisme, negeri-negeri ini menutup pintu dari agama sebagai tempat pelipur lara. Lain halnya dengan di AS, Negeri Paman Sam ini yang dilandasi pada pembangunan mensejahterakan rakyat, pendidikan serta memajukan sector-sektor lainnya, di awali oleh unsur keagamaan kristiani sebagai dasar pembangunan bangsa. Namun keadaan sekarang sudah berbeda, sekalipun agama merupakan dasar utama dalam falsafah hidup bangsa Amerika. Perubahan ini terjadi sebagai dampak ketidak pemerataan dalam kesejahteraan hidup. Perekonomian Amerika akhir-akhir ini tidak seimbang dengan rata-rata perekonomian negeri-negeri Barat lainnya. Sekarang ini perekonomian AS berada pada posisi ke-39 dari 136 negara lainnya yang mengalami penurunan tingkat kesejahteraan paling rendah. Posisi ini mendekati Uganda, Jamaica, Kamerun dan Pantai Gading. Sementara Negara-negara seperti Turkmenistan, Mali dan Kamboja mengalami peningkatan ekonomi yang lebih baik ketimbang AS. Kanada berada di urutan ke 101 dan Uni Eropa di urutan ke 111. Sementara negeri yang paling tinggi tingkat pemerataan kesejahteraan adalah Swedia. Ketidak pemerataan tingkat kesejahteraan tidak hanya terjadi di negeri-negeri miskin. Bahkan juga di alami berbagai Negara bagian di AS. Perkembangan agama juga tidak merata, termasuk ketidak setiaan jema’at masuk gereja, menurunnya ketidak percayaan pada Tuhan, dan berkurangnya kelompok-kelompok masyarakat religi.. 
Meningkatnya minat meraih kesejahteraan ketimbang pendekatan pada nilai-nilai keagamaan bagi kalangan masyarakat merata karena agama di nilai dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun dilain pihak, dimana terjadi ketidak pemerataan, bagi mereka yang miskin akan bertambah miskin, dan yang kaya bertambah kaya. 
Pertanyaan sekarang, dengan bertambah tingginya kemiskinan apakah perlu unsur keagamaan di tingkatkan?
Kalau dilihat kenyataannya, memang sangat tipis. Pada masyarakat yang tidak merata tingkat kesejahteraannya, diantara orang-orang kaya terlihat juga mereka dekat dengan nilai-nilai religi mereka, sedangkan yang miskin menjauhi hingga kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin kian melebar. Sementara bagi mereka yang kaya, kian mengembangkan unsur-unsur keagamaan mewarnai kehidupan mereka sehari-hari. Mereka juga menjalin hubungan dengan kaum miskin dan sering memberi kesaksian dan membangkitkan motivasi guna membantu memperbaiki kualitas hidup kepada orang miskin. Cara ini diteliti oleh ilmuwan sosial, David Campbell dari Universitas Notre Dame dan Robert Putnam dari Universitas Harvard pada buku karya tulis mereka, American Grace: How Religion Divides and Unites Us, (Simon & Schuster, Oktober 2010). Isi buku ini mengungkapkan bahwa nilai-nilai keagamaan sama sekali tidak punah di kalangan pelajar dan orang-orang kaya di AS. Pemasukan ke kantong gereja tetap ada. Kaum pelajar tetap setia berjema’at dan sering masuk gereja dan tidak semata-mata masuk perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah kesarjanaan. Kendati 30 tahun lalu –ketika ketidak pemerataan tumbuh subur- jumlah umat memasuki gereja di kalangan mahasiswa justru meningkat ketimbang mereka yang tidak melanjutkan perguruan tinggi. 
Dari hasil penelitiannya  menilai bahwa secara imperis, bagi yang kaya menggunakan agama sebagai alat untuk menempatkan si miskin tetap pada posisi keberadaan mereka. Dalam interpretasi mereka, yang kaya tetap saja tidak ingin berbaur dengan yang miskin.  Kendati agama pada dasarnya tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin.  Sungguhpun begitu, pada masyarakat yang hidup dalam kondisi ketidak pemerataan, yang menonjol adalah orang-orang kaya muda, dan bukan para janda yang hanya memiliki beberapa gobangan untuk mempertahankan hidup di suasana  ketidak adilan sementara gereja tetap berpatokan: “Tidak ada keselamatan di luar gereja,” dan para birokrat pengelola lembaga-lembaga gereja  mapan dengan kehidupan oligarkhi hingga menutup pintu dan jendela  gereja dari pergumulan jema’at menghadapi ketidak pemerataan dan ketidak adilan.
*** Harry Kawilarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Profesi Hukum

Kekerasan Terhadap Pemuka Agama