Keikhlasan Gurutta untuk Pesantren
Keikhlasan Gurutta dalam Memperjuangkan Keberlangsungan Pontren DDI Takkalasi untuk Lebih Baik
“Jika aku saat ini hanyalah sebuah bongkahan batu yang tak ternilai maka suatu saat batu itu akan menjadi bongkahan mulia yang harganya sangat mahal, tahukah mengapa demikian dapat terjadi. Karena engkau sang guru kami, saat ini mengajari kami dengan penuh motivasi dan ketulusan. Sungguh sikap yang kamu tampilkan demikian sangat menyentuh hati kami dan membuat hati dan seluruh tubuh kami untuk tidak bermalas-malasan dalam belajar dan itulah yang akan menjadikan kami batu mutiara. Terimah kasih adalah kata yang tak mampu membalas apa yang telah engkau berikan kepada kami, dan hanya realisasi pula lah yang hanya mampu kami lakukan selama ini, karena kami yakin bahwa gurutta masih ada dalam diri kami, masih ada di sekitar yang selalu membimbing dan mengarahkan kami. Dan ucapan Do’a yang kami selalu sampaikan, Al-Fatihah”.
Ungkapan di atas adalah ungkapan kesyukuranku kepada sang khalik, dimana aku mampu dipertemukan dan didekapkan olehnya. Mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengannya. Tiada lain yang aku maksud adalah sang guruku yang selalu disebut di kalangan kami adalah Gurutta. Dan sebenarnya aku tak mampu menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat sahingga dapat menjadi paragraf untuk aku jadikan sebagai kesan yang sangat berharga ini, karena peran dari sang gurutta menurut aku sangatlah banyak dan tak sebanding jikalau aku meluapkan dengan tulisan ini.
Rasa sedih dan takut ketika mendengarkan suasana pesantren di saat itu, apalagi sampai harus menimbah ilmu dan melanjutkan pendidikan di pesantren, sungguh sangatlah tidak ada niat untuk hal itu. Akan tetapi orang tua dan keluarga melihat potensi yang dalam diri aku sehingga mengirim aku ke pesantren. Dan bahkan orang tua aku mengatakan silahkan mencoba dulu dan menikmati dulu, karena engkau akan rasakan sendiri susananya dan akan engkau nikmati nantinya. Dan disitulah aku memulai kehidupan pesantren atau santri.
Disaat memulai kehidupan pesantren, aku selalu termenung dan berfikir dengan kesendirianku, padahal ratusan orang yang ada di lingkungan tersebut mampu meramaikan suasana pesantren, tetapi menurut aku yang terpenting adalah keluarga di rumah yang harus aku temani. Dan bahkan aku sering gelisah dengan suasana yang ada di pesantren, tak tau apa yang harus saya lakukan dan kerjakan.
Berselang bebarapa hari aku sudah mampu membaurkan tubuh ini dengan suasana apa yang terdapat di pesantren yang aku masuki. Bahkan tiada lagi kata yang selalu aku ucapkan sebelumnya, melainkan kata untuk membangkitkan semangat aku sendiri. Dan hal itu sesuai dengan apa yang disampaikan oleh gurutta di saat aku dan bersama dengan mereka selaku santri baru, beliau mengatakan “untuk memulai sesuatu yang ingin kita lakukan, harus dimulai dengan niat karena Allah SWT dan harus Ikhlas, selanjutnya dengan suasana mondok di pesantren harus dianggap semuanya sebagai keluarga, sehingga hidup di pesantren akan terasa enak dan ananda akan menyukainya".
Ketika aturan sudah diterapkan dan sudah mengikat, maka disitulah suasana literasi di pesantren dimulai. Suasana proses belajar mengajar baik di sekolah dan maupun pengajian mushollah. Ketika itu suasana pertama ketika gurutta memberikan pelajaran atau pengajian di mushollah kepada kita semua selaku santri dan santriwati, aku langsung menempatkan diriku tepat dengan samping tempat duduk pengajian gurutta, dan akupun langsung disuruh baca kitab kuning atau kitab gondolo, walaupun aku belum terlalu paham membacanya, akan tetapi kata beliau silahkan baca saja dan mau ditempatkan dimana barisnya, terserah saja. Hal ini berarti bahwa gurutta sangat memahami dan mengerti terhadap apa yang dirasakan oleh kami semua selaku santrinya.
Keseriusan dan Kebercandaan yang selalu ditampilkan oleh Gurutta
Kebanggaan yang aku rasakan ketika aku diizinkan oleh gurutta untuk mengabdi kepadanya, setiap harinya aku selalu memandang kesejukan wajah beliau, kehangatan sebagian tangan kanan beliau ketika aku berjalan bersama ke mushollah atau menghadiri kegiatan baik di pesantren maupun di luar teritorial pesantren, sehingga sering dan selalu terucapkan lantunan kata-kata mutiara untuk dikaji dan dijadikan pelajaran dalam diriku ini. Kebercandaan gurutta pernah aku rasakan, di kala waktu itu aku bersama menghadiri undangan dan makan bersama tepatnya berada di sisihnya, gurutta selalu menambahkan sendok demi sendok nasi ke piring aku, dan gurutta mengatakan sambil tersenyum jikalau bersamaan makan tidak boleh kenyang kalau belum kenyang orang tua.
Keseriusan dan kesungguhan gurutta dalam memimpin pondok pesantren tersebut sangatlah terasa dalam benak aku, tak kenal lelah dan sakit sang gurutta masih memikirkan apa yang yang harus dilakukan untuk pondok pesantren ini, sehingga perkembangan dan peningkatan pesantren mampu dirasakan sampai saat ini. Bahkan beliau sangatlah teliti dalam menetapkan sesuatu dan konsisten terhadap apa yang beliau sepakati bersama, walaupun dirinya harus berhadapan dengan kesulitan dan tanpa keuntungan pribadi, karena menurut beliau semuanya hanya untuk kepentingan pondok pesantren dan kepentingan bersama. Hal itu sesuai dengan apa yang pernah beliau sampaikan di hadapan kami semua, bahwa ia akan berjuang untuk pondok pesantren ini sampai akhir hayatnya tiba, dan hal demikian pun terbukti.
Berjuang tanpa Pamrih
“Anukku anunna pesantrennge, anunna pesantrennge tania anukku.” Itulah ungkapan yang sering beliau sampaikan di hadapan kami semua. Ungkapan tersebut mampu memberikan isyarat kepada aku bahwa dalam berjuang harus betul-betul konsisten dan harus ikhlas dan tekun tanpa terlebih dahulu mengharapkan imbalan. Dalam kepribadian gurutta tak sedikit pun mengharapkan imbalan dan ingin meraih keuntungan dari apa yang ia pimpin dan bina di pesantren tersebut. Keseharian beliau tidak pernah menampakkan akan adanya kekayaan harta dari keuntungan pesentren untuk kepentingan diri pribadinya. Ini menandakan bahwa keikhlasan dalam berjuang gurutta tiada lain dan tidak bukan hanya demi keberlangsungan hidup pondok pesantren.
Bekerja dengan sedikit upah hal itu masih sering ditemukan, akan tetapi bekerja tanpa mengharapkan upah dan bahkan tidak mau mengambil upahnya itu sangat jarang bahkan sering tidak didapatkan. Dan hal itulah yang sering dilakukan oleh gurutta, tak sedikit pun mengharapkan upah terhadap apa yang ia miliki baik jabatan maupun apa yang ia lakukan. Bahkan beliau sering menyampaikan kepadaku, disaat aku sedang duduk bersimpuh di hadapannya, sehabis aku membersihkan rumahnya di pagi hari. Beliau menyampaikan, aku tak memiliki harta untuk membeli kendaraan mewah sehingga motor yang pernah aku pakai berjuang adalah motor hondri (honda riolo), akan tetapi semangat untuk berjuang melakukan sesuatu hal, itu yang aku miliki dan sudah tentu harus beranjak dari niat yang baik dan harus memiliki keikhlasan. Dan bahkan beliau sering memikirkan para pembina dan guru-guru yang mengabdi bersama dengan beliau, bahkan sering kali menampakkan kesedihan dari raut wajahnya ketika memikirkan pondok pesantren yang beliau pimpin.
Perpisahan yang tak Dipertemukan
Tanda-tanda sudah diperlihatkan, kesenangan akan dibalut kesedihan, dan kebersamaan akan dipisahkan. Itulah yang dihadapi oleh penghuni pondok pesantren, ketika gurutta sudah mulai sakit, tubuhnya tak mampu lagi digerakkan, sehingga sudah tak sering didapatkan di sekolah maupun di mushollah.
Hari terakhir aku dipertemukan oleh beliau, sebelum aku dan santri lainya akan diliburkan esoknya pada perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Waktu itu aku datang kekediaman beliau tepatnya habis sholat isya, walaupun beliau sudah tak mampu menggerakkan tubuhnya seperti sebelumnya, hanya terbaring di atas kasur tempat tidurnya. Akan tetapi gurutta tak mau memperlihatkan ketidakmampuanya di hadapan aku, tak sedikit pun rasa sakit yang diperlihatkan baik mimik wajah kesedihan dan air mata yang mengalir. Maka disitulah aku percaya diri dan aku sebutkan dalam hati disertai dengan do’a bahwa gurutta akan sehat dan kuat kembali untuk bersama-sama di pesantren ini. Akan tetapi itulah kehidupan, pasti akan dihadapkan kematian.
Entah kesalahan apa yang aku lakukan atau pernah aku lakukan sehingga aku tak dipertemukan di saat hembusan terakhir nafasnya. Ketika batas waktu libur telah usai tepatnya hari senin rabiul awal, akan tetapi aku sendiri menambahkan libur sampai hari selasa tepatnya tanggal 7 Februari 2012. Memang betul, bahwa tanda-tanda akan selalu diperlihatkan, dan hal itu yang aku rasakan. Waktu malam tersebut aku sangat gelisah memikirkan keberadaan gurutta, memikirkan keadaan gurutta. Dan esok harinya tepat pukul 9.00 telah terdengar kabar, bahwa gurutta telah wafat. Inna lillahi wainna ilahi rajiun adalah kata yang berat aku ucapkan ketika itu, karena ketidakpercayaanku, bahwa gurutta akan meninggalkan kita semua. Akan tetapi, lagi-lagi itulah kebodohan dan kesalahan aku, karena aku tak mampu dipertemukan dengan gurutta dan bahkan tak melihat wajahnya sedikit pun sebelum masuk di dalam kuburan.
Dan hanya do’a dan air mata kesedihan yang selalu kami sampaikan, kenangan yang begitu sangat indah dan luar biasa yang kami dapatkan ketika kami dibina olehmu (Gurutta), tuntunan dan ajaranmu sudah mengalir dalam diri kami, sehingga kami sering merasakan akan kehadiranmu dalam kehidupan kami. Kami cinta, sayang, dan sangat menghormatimu. Dan do’a terbaikku yang selalu aku panjatkan adalah ditempatkan disisi Allah SWT. Amin ya rabbal alamin.
Maros, 5 Februari 2018
Muhammad Agung
Komentar
Posting Komentar