Kekerasan Terhadap Pemuka Agama



Mengatas Namakan Agama untuk Meronrong Bangsa dan Negara

Pasal 28 E UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pasal diatas merupakan pasal tentang adanya hak setiap manusia, dalam kebebasan dalam beragama, kebebasan dalam memilih pendidikan, memilih kewarganegaraan, kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal inilah yang menjiwai akan adanya sebuah konsep negara demokrasi.
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu / manusia lain dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan / agama.
Dalam menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati, sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian.
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya". Negara dan Agama merupakan dua institusi yang bisa dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Agama jadi topangan moral masyarakat dalam menghadapi perubahan. Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
Menelisik dari pada keberadaan hak kebebasan beragama dalam legalitas hukum, maka itu sudah pasti harus saling menghormati dan menghargai, terlebih lagi ajaran agama sangat mengharuskan hal itu. Akan tetapi dalam realita kehidupan agama sering menjadi wadah kekerasan dan kejahatan.
Ada jarak antara cita-cita agama dan realita kehidupan beragama. Agama sering tampil dalam dua wajah yang bertentangan. Dari satu sisi, agama merupakan tempat dimana orang menemukan kedamaian, kedamaian hidup, dan yang harapan yang kukuh. Agama juga menjadi sumber inspirasi dan memberi motivasi tindak kepahlawanan atau membangkitkan semangat pengorbanan. Di sisi lain, dalam agama sering menjadi bencana dan musibah, baik perorangan maupun dalam satuan kelompok dan bahkan sering terjadi pula pada pemuka setiap agama. Akan tetapi tidak bisa disangkal begitu besar sumbangan agama dalam kemajuan peradaban manusia dalam membentuk, mendidik dan serta mempertajam makna tanggung jawab.
Cukup menyedihkan ketika agama dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Atas agama orang biasa semena-mena memperlakukan orang lain. Agama dipakai melakukan diskriminasi, dijadikan alasan tindak kekerasan, bahkan sampai pada pembunuhan. Pembelaan biasanya sangat normatif dengan mengatakan bahwa agama mengajarkan pada perdamaian, menentang kekerasan, namun tidak jarang ada yang menyalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dan bahkan tidak sedikit mengarah pada ranah politik. Pembelaan diri yang bersifat normatif ini tidak menyadari bahwa ada jarak antara ‘yang seharusnya’ dan ‘yang faktual’, antara ajaran dan praktik kehidupan. Justru masalah yang perlu dihadapi adalah bagaimana menjembatani jarak itu supaya ajaran semakin terwujud dalam kehidupan dan bukan hanya menjadi alat pembenaran kekerasan atau legitimasi kekuasaan.
Ternyata, meski agama menekankan pada perdamaian dan hormat akan martabat manusia, sebagai sistem ajaran, agama masih membuka peluang penafsiran yang mendukung bentuk-bentuk kekerasan. Para pemimpin agama, teolog, dan guru agama belum sampai pada titik penegasan bahwa apapun pembenaran bila merendahkan martabat manusia, suatu penafsiran harus dipertanyakan keabsahannya. Ketidaktegasan ini memudahkan orang mencari pembenaran kekerasan melalui agama.
Akan tetapi tidak jarang pula kejadian yang terjadi mengatas namakan agama, dan menujual agama hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan sering pula paham-paham radikalisme, separatisme mampu mengasut dan membuat propaganda ditengah-tengah kelompok agama atau kepercayaan, sehingga kepercayaan atau toleransi antar agama sering terpecahbelah, dan bakan berujung pada perang antar agama dan tidak jarang pula terjadi kepercayaan terhadap agama mampu dipisahkan.

Kekerasan Berujung pada Pemuka Agama
Kalau agama menganjurkan pemeluknya untuk menghormati dan menghargai sesama manusia, kenyataan sering berbicara lain. Kita sering menyaksikan dan sejarah mencatat betapa besar andil agama dalam membakar kebencian dan meniupkan kecurigaan, membangkitkan salah pengertian dan mengundang konflik. Agama kerap menjadi sumber diskriminasi. Lalu pembelaanya ialah bahwa agama bukan merupakan pemicu utama sebuah konflik. Tidak sedikit pengamat dan pemuka agama menuding kesenjangan ekonomi, kekuasaan politik, atau kecemburuan sosial. Tetapi masalahnya, mengapa agama yang dikatakan bukan pemicu utama konflik justru memberi jaminan dukungan bagi pihak yang bersengketa ?, ataukah nama agama yang dijual, sehingga terjadi konflik antar agama dalam negara indonesia ?.
Hal itu tidak dipungkirilagi, perpecahan antar agama sering terjadi, dan berujung pada konflik dan ketidak percayaan antar agama yang satu dengan yang lain. Dan sasaran utamanya adalah pemuka agama. Akan tetapi yang perlu diingat kembali, bahwa dalam keutuhan bangsa dan negara indonesia dengan berbagai macam kepercayaan atau agama hal itu disatukan dalam makna toleransi, sehingga tidak jarang pula pemahaman antar agama terhadap konflik yang terjadi adalah berujung pada agama yang satu dengan yang lain.
Sebuah gambaran besar yang telah diperlihatkan kembali, ialah munculnya kekerasan yang berujung pada kematian terhadap para pemuka agama, dan kekerasan ini dinilai tidak berdiri sendiri, karena peristiwa-peristiwa itu saling mengaitkan antar satu dengan yang lain yang bertujuan untuk menciptkan ketegangan dan ketidak harmonisan dalam kehidupan antar ummat beragama. 
Tindakan penyerangan dan juga kekerasan bukanlah bagian dari ajaran agama dan keyakinan apapun. Dan bahkan semua agama telah mengecam terhadap tindakan tersebut. Akan tetapi kekerasan yang terjadi ini sering pula diarahkan pada proses perayaan politik akan datang, karena dampak sistematis kekerasan terhadap pemuka agama akan semakin besar jikalau disangkutpautkan dengan proses politik baik yang telah berlalu, sedang berjalan, maupun nantinya.

Pesan untuk Warga Negara Indonesia
Peristiwa yang telah terjadi merupakan skenario yang sistematik dan dampaknya sangat besar, bahkan akan menimbulkan kekacauan, keributan, dan saling curiga antarummat beragama dan antar-internal ummat beragama juga. Dan aksi kekerasan ini pula bisa berujung pada ketidak harmonisan baik agama, bangsa dan negara.
Sehingga jikalau keadaan sudah terjadi dengan baik, maka sangat efektif untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, dan memberikan pembenaran atas klaim-klaim terhadap mereka, seolah-olah indonesia sedang dilanda wabah intoleransi dimana-mana. Dan yang terjadi kemudian rasa damai akan hilang.
Pemerintah harus tegas dalam mengusut tuntas berbagai kasus tragis ini. Dan begitupun para penegak hukum harus mengkaji secara sungguh-sungguh, objektif, dan tampa panda bulu sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Karena tidak lah mungkin, hal ini hanya dilakukan oleh pihak yang tidak waras. Sudah pasti ada penyertaan atau deelneming dan otak utamanya sangatlah massif dan terorganisir dalam memikirkan hal itu. Maka itu yang harus dibuka dihadapan bangsa dan negara ini.
Dan berharap agar baik ummat beragama maupun warga bangsa untuk tetap tenang dan tidak tersulut emosi atas kejadian teror yang menggemparkan tersebut. Dan para pejabat dan elite bangsa, untuk tetap bijak dan bersikap proporsional agar tidak memperluas kecemasan dan saling curiga ditubuh bangsa dan negara ini.
Di samping itu, agar semua pihak waspada dan menaruh keprihatinan yang seksama atas kejadian-kejadian yang tidak beradap dan tidak berprikemanusiaan tersebut. Neraca keadilan pun tetap harus ditegakkan. Hal itu agar jangan sampai satu kasus menjadi perhatian luas secara nasional sampai internasional, sementara yang lainnya terbaikan. Tetap menjaga toleransi antar beragama jangan karena kepentingan politik mampu merusak tatanan berbangsa dan bernegara, hapus pemahaman radikalisme dan separatisme di negeri Nusantara ini, Damai Indonesiaku.
Maros, 21 Februari 2018
Muhammad Agung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Profesi Hukum