Pribumisasi Islam
Pribumisasi Islam
Catatan:
Pemikiran oleh “Gus Dur”
Pendahuluan
Munculnya berbagai gerakan islam yang cukup menonjol dalam beberapa tahun terkahir ini, semenjak pasca jatuhnya soeharto. Sangat menarik dicermati baik itu wacana dan praktik yang mereka kembangkan, maka secara singkat kelompok” ini dapat dikategorikan sebagai kelompok salafi radikal yang berorintasi kpd penegakan dan pengalaman islam yang murni sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Pemikiran Abdurrahman Wahid ( GusDur ) tantang pribumisasi islam, Gus Dur bukanlah orang pertama yang memulai gagasan tersebut, melaingkan sebagai pelanjut estafet dari langkah strategis yang pernah dilakukan dan dijalankan oleh wali songo.
Latar Pemikiran Pribumisasi Islam Gus Dur
Gagasan pribumisasi Islam secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Gus Dur pada tahun 1980-an. Semenjak itu, Islam pribumi menjadi perdebatan menarik dalam lingkungan para intelektual; baik intelektual senior (tua) dengan intelektual muda. Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran. normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing, sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah. Bukankah arabisme atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti mencabut akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.
Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini melintas antara agama dan budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) sesuai dengan konteks lokalnya dalam wujud “Islam Pribumi” sebagai jawaban dari “Islam Autentik” atau “Islam Purifikatif” yang ingin melakukan proyek arabisme di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. “Islam Pribumi” justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam.
“Islam Pribumi” sebagai jawaban dari Islam autentik mengandaikan tiga hal.
1. Pertama, “Islam Pribumi” memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat.
2. Kedua, “Islam Pribumi” bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens.
3. Ketiga, “Islam Pribumi” memiliki karakter liberatif, yaitu Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik.
Dalam konteks inilah, “Islam Pribumi” ingin membebaskan puritanisme dan segala bentuk purifikasi Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, “Islam Pribumi” lebih berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology),10 yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, dan mengakui ajaran agama tanpa interpretasi, sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat.
Permasalahannya apakah, Islam pribumi dapat dipandang „absah‟ dalam perspektif doktrin Islam. Pengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai pengejawantahan dari praktik bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam.
Pembahsan tentang Pribumisasi Islam
Pro-kontra mengenai konsepsi Islam pribumi ini tidak bisa dihindarkan. Pada 8-9 Maret 1989 sekira 200 kiai berkumpul di Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon untuk “mengadili” Gus Dur. Dari sini muncul beberapa kubu yang saling berhadapan dalam menyikapi wacana yang digulirkan oleh Gus Dur terkait dengan gagasan Islam pribuminya.
Semenjak kehadiran Islam di nusantara, para ulama telah mencoba mengadopsi kebudayaan lokal secara selektif. Sistem sosial, kesenian, pemerintahan yang sudah pas tidak diubah, termasuk adat istiadat yang banyak dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal ini yang memungkinkan budaya nusantara tetap beragam, walaupun Islam telah menyatukan wilayah ini secara agama. Dari segi cara berpakaian, mereka masih memakai pakaian adat, dan oleh ulama setempat dianggap sebagian telah cukup memenuhi syarat untuk menutup aurat. Kalangan ulama perempuan dan istri para kiai memakai pakaian adat, sebagaimana masyarakat setempat yang lain.
Strategi ini dijalankan disamping memperakrab Islam dengan lingkungan setempat, juga memberikan peluang bagi industri pakaian adat untuk terus berkembang, sehingga secara ekonomi mereka tidak terganggu dengan kehadiran Islam, kalau bisa justru dikembangkan. Pada periode ini Islam sangat kental dengan warna lokal, sehingga setiap Islam daerah bisa menampilkan keIslamannya secara khas berdasarkan adat mereka. Di situ, keislaman benar-benar menyatu dengan kenusantaraan atau keindonesiaan, tidak hanya dari segi adat istiadat, tapi juga pemikiran dan aspirasi politiknya yang berorientasi kebangsaan bukan keislaman.
Islam pribumi yang telah dilontarkan Gus Dur ini sesungguhnya mengambil semangat yang telah diajarkan oleh Wali Songo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad 15 dan 16 di pulau jawa. Dalam hal ini, Wali Songo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokal dalam Islam yang khas keindonesiaan. Kreativitas Wali Songo ini melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam yang tidak h}arfîyah meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar Arabisme yang melekat dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Para Wali Songo justru mengakomodir Islam sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi dengan kebudayaan.
Dengan demikian, Islam pribumi sebagai bagian dari pertarungan wacana merupakan kelanjutan dari gagasan-gagasan sebelumnya dengan semangat dan tantangan yang sama berarti. Tantangan yang dihadapi Islam pribumi adalah universalisasi Islam dalam segala bentuknya yang mengarah pada arabisme Islam.
Gagasan “pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problem yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (‘âdah) dengan norma (sharî„ah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam us}ûl al-fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang.
“Pribumisasi Islam” dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman yang mempertimbangkan kebuyuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. “Pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman (nass), dengan tetap memberikan peranan kepada usûl al-fiqh dan qawâ‘id al-fiqh. Di sini, wahyu-dalam pandangan Gus Dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan.
Dalam proses ini pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keislamannya. al-Qur‟ân harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam salat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-Qur‟ân hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan al-Qur‟ân itu sendiri.
Proses pergulatan dengan kenyataan kebudayaan tidaklah dimaksudkan mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Oleh karena itu yang dipribumikan sebagai fokus. Menurut Gus Dur, Islam harus tetap Islam di manapun saja. Namun tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya.
Menurut Gus Dur yang dipribumikan adalah manifestasi kehidupan Islam belaka, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan al-Qur‟ân Batak dan H{adîth Jawa. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan „bentuk luar‟-nya. Yang menjadi agenda Gus Dur adalah berpikir tentang bagaimana melestarikan agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan kepentingan seluruh bangsa. Gus Dur tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa pribumisasi merupakan arena kontestasi, tempat dipertarungkannya makna dan digugatnya ideologi kemapanan.
Pribumisasi tidaklah relevan dihadapkan dan dibedakan dengan proses inkulturasi, akulturasi, konvergensi, ataupun kontekstualisasi, karena pribumisasi dapat berupa proses-proses, tergantung watak lokal masing-masing. Proses-proses perubahan kebudayaan tersebut tidak Selalu bersifat sinkronis, tetapi juga diakronis. Maka sebuah proses inkluturasi adalah upaya membuat seorang individu dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kebudayaan zaman dan tempat. Inkulturasi mencapai hasil terbaik jika berjalan lancar, luwes dan bebas. Pertimbangan harus menggabungkan tradisi dengan cipta, supaya nilai-nilai dapat diasimilir secara dinamis, terbuka bagi peningkatan lebih lanjut. Warisan kebudayaan tidak dipartisipasikan sebagai beban, melainkan sebagai pengayaan modal individu. Di sinilah letak perbedaan inkluturalisasi dengan indoktrinasi dan sosialisasi. Dalam dua proses terakhir, tidak peduli ada interiorisasi nilai, cukuplah meniru secara lahiriah. Karena itulah, inkluturalisasi harus dihindarkan dari dua ekses itu.
Dalam konteks Islam pribumi, aspek universalisme Islam terkait dengan kenyataan terjadinya kosmopolitanisme Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan nampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslimin waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslimin, karena tidak adanya consensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara lain, bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka karena mampu saling berdialog secara bebas.
Titik tolak pemikiran Gus Dur bukan dengan mengagungkan modernisme, tetapi mengkritik modernisme yang diuniversalkan dengan menggunakan pisau tradisionalisme Islam. Gaya pemikiran seperti ini tampak jelas ketika Gus Dur menjelaskan soal universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Dalam persoalan universalisme Islam misalnya, Gus Dur tidak perlu merujuk secara langsung kepada al-Qur‟ân atau h}adîth, sebagaimana sering digunakan kelompok Islam modernis, tetapi merujuk pada teori dalam us}ûl al-fiqh yang disebut al-d}arûrîyat al-khamsah (lima hal dasar agama). Kelima hal dasar itu adalah:
1. Hifz al-dîn yang dimaknai Gus Dur sebagai keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan berpindah agama.
2. Hifz al-nafs, yang dimaknai sebagai keharusan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.
3. Hifz al-‘aql, pemeliharaan atas kecerdasan akal.
4. Hifz al-nasl, keselamatan keluarga dan keturunan. Dan
5. Hifz al-mâl, keselamatan hak milik, properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran di luar prosedur hukum.
Dengan demikian, bagi Gus Dur, universalisme Islam itu tercermin dalam ajaran-ajarannya yang mempunyai kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dibuktikan dengan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kezaliman dan kesewenang-wenangan. Karena itu, pemerintah harus menciptakan sebuah sistem pendidikan yang benar, dan ruang untuk memperoleh informasi dibuka lebar.
Dengan memberi makna demikian, konsep universalisme Islam seperti menjadi sangat inklusif dan terbuka dengan berbagai kemungkinan perkembangan modern. Islam juga tampak menjadi agama yang terbuka. Dari sinilah Gus Dur kemudian merumuskan konsep kosmopolitanisme Islam.
Catatan Akhir
Pribumisasi Islam adalah bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Gus Dur, Arabisme atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya sendiri. Lebih dari itu, Arabisme belum cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti pribumisasi Islam (Islam pribumi) adalah kebutuhan bukan untuk menghindari pilarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi yang demikian memang tidak terhindarkan.
Pribumisasi Islam bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nas}s}, dengan tetap memberikan peranan kepada us}ûl al-fiqh dan qawâ‘id al-fiqh.
Maros, 20 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar