Corona dalam Pandangan Agama


“Virus Corona dalam Pandangan Agama”

  
https://indopolitika.com/antara-tidak-takut-corona-dan-takut-pada-allah-swt-yuk-simak-dalilnya/

World Health Organization (WHO) menetapkan status pandemi global Covid-19, Virus ini awalnya di China dalam hal ini kota Wuhan dan menyebar diseluruh benua di dunia. Penyebarannya pun tak kenal negara maju dan berkembang, tak kenal kemegahan dan kecanggihan teknologi, dan tak kenal negara yang kekuatan militernya tidak diragukan lagi, melainkan semua rata dan diratakan dengan Virus kecil ini atau biasa disebut virus Corona. Salah satunya di benua biru, Eropa, dan di Amerika Serikat disibukkan pula untuk menghadang virus ini masuk kewilayahnya, justru mengalami tren kenaikan yang cukup mengkhawatirkan dengan jumlah kematian yang tidak sedikit.

Jumlah yang tertular dan korban meninggal terus bertambah sedangkan titik terang pengobatannya yang efektif belum ditemukan. Pengumpulan massa dalam jumlah besar telah dihentikan untuk menghindari proses penularan seperti sekolah, kampus, tempat hiburan, konferensi, dan termasuk di antaranya aktivitas ibadah seperti shalat Jumat. Iran dan Malaysia telah menghentikan jumatan di masjid. Sebelumnya, Arab Saudi telah menghentikan umrah di Masjidil Haram.

Situasi ini semakin membuat kepanikan di setiap negara. Pun sama dengan situasi di negara Indonesia, tren kenaikan pasien Covid-19 mengalami pertambahan berikut dengan kasus kematian. Sementara yang berhasil pulih memang ada, namun tidak signifikan.

Kontroversi pun merebak terutama di media sosial. Berbagai diskusi dan pernyataan tersampaikan berbagai macam golongan atau kelompok, bahkan golongan Agama di Indonesia pun sudah mulai bertanya-tanya dan menyatakan sikap terhadap Pendemic ini. Aktifitas hari-hari besar setiap Agama sudah tidak dilakukan sebagaimana sebelumnya. Seperti Agama Islam, Perayaan Isra Mi’raj sempat tidak dilaksanakan diberbagai masjid-masjid besar, dan sholat jum’at, bahkan sholat tarwih dan idul fitri akan dilaksanakan melalui rumah. Begitupun dari Agama Kristen dalam perayaan hari paskah pun melalui media online terhadap ummatnya sendiri. Dan sama halnya pula Agama Hindu di Indonesia merayakan hari raya nyepi tidak sama dengan yang sebelumnya pula. Lalu bagaimana pandangan agama terhadap situasi yang seperti ini ?.

Antara Agama dan Corona

Kemeslahatan dan keselamatan Manusia adalah jauh lebih penting dan utama, ketimbang yang lain. Mungkin sama halnya dengan pandangan setiap Agama. Di Indonesia sendiri, terhadap setiap pemuka agama telah menyatakan sikap untuk tetap menjaga diri terhadap pendemi ini, sebagaimana kebijakan pemerintah.

Agama sejak awal sudah memiliki peranan penting secara quality dalam perumusan ideologi kita, dalam perjuangan kemerdekaan kita, agama itu sudah memiliki peranan penting. Sehingga dalam beberapa isu, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya, agama mau tidak mau memiliki peranan penting, dan itu bisa positif dan bisa negatif, tergantung masyarakat beragama bagaimana menyikapi isu dalam berbagai hal.

Agama di Indonesia sudah terlampau memainkan peranan penting, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Secara kuantitas, jelas agama islam 80 sekian persen di Indonesia. Di luar itu ada sekitar 11 persen umat beragama non muslim yang semuanya memiliki peranan penting. Khususnya umat Islam memiliki peranan penting secara kuantitas. Apalagi negara Indonesia adalah negara demokrasi, kuantitas sesuatu yang tidak bisa kita abaikan, karena kuantitas menentukan sikap suatu negara. Sama halnya teori yang disampaikan oleh Charles Kimball, bahwa agama satu sisi dapat menjadi perekat sesama anak manusia namun pada saat bersamaan agama dapat menjadi bencana (evil) bagi umat manusia. Menjadi perekat solidaritas pada saat terjadi musibah ataupun tempat mengadu, berkeluh kesah, tiap individu pada Sang Pencipta bagi yang meyakininya. Agama dapat menjadi bencana tatkala ia dijadikan alat kekuasaan sekaligus manipulasi politik oleh elite kepada konstituennya.

Kaitan dengan corona ini, disebutkan diberbagai negara kumpul-kumpul umat beragama baik berjamaahnya umat muslim atau non muslim juga terjadi di negara Eropa, artinya sudah kelihatan bahwa peran agama sangat sentral dalam konteks kasus corona ini.

Namun melalui situasi dan keadaan hari ini, dipandang bahwa Corona ini sangat membahayakan dan dapat mematikan, sebagai respon panik dan khawatir memerlukan katarsis. Dan Agama adalah salah satu medium yang dapat dijadikan sandaran bagi setiap individu untuk mengeliminasi rasa kepanikan dan kekhawatiran yang berlebih.

Di dalam Islam misalnya, telah termaktub bahwa manusia itu makhluk yang sangat rentan merasakan kepanikan dan ketakutan [QS. An-Nahl: 112], terhadap kelaparan, bencana alam, maupun kehilangan sesuatu. Hal inilah yang dapat disaksikan dengan merebaknya pandemic Covid-19 belakangan ini.

Disamping itu, seiring perkembangan kekakhawatiran dan ketakutan terhadap pandemic, adapula yang menyelaraskan pada konten teologis atau keimanan sesorang. Ada beberapa catatan (muhasabah) khususnya dalam hal bidang agama. Dalam konteks umat Islam, ada problem yang sangat serius masyarakat muslim di Indonesia. Itu dilihat dari berkembangnya narasi “Jangan takut corona tapi takut pada Allah semata”. Itu problem yang sangat serius dalam maslaah keimanan, dan hal ini merupakan problem dasar dalam Islam. Artinya, keimanan kepada Allah itu tidak berbanding lurus pada keimanan kita terhadap qodha dan qodarnya Allah Swt, terhadap ketetapan Allah Swt. Ketakutan kepada Allah menyebabkan takut juga terhadap segala ketetapan-ketetapan Allah. Dalam hal ini tersebarnya virus corona, ini bagian dari ketetapan Allah.

Narasi bahwa “Tidak takur corona, takutnya pada Allah” itu menunjukkan ada problem teologis dasar dimasyarakat muslim yang jumlahnya mayoritas. Namun jawaban simpel sekali, sebenarnya tidak usah pakai pendekatan agama, misalnya kalau takut Allah berarti kita juga takut harimau. Dan narasi itu kemudian laku di umat muslim dan umat beragama lain. Dan berbagai narasi yang dikembangkan oleh sebagian orang yang berlatarkan agama dan intelektual agama dimedsos membuat peradaban agama sangatlah gelap. Padahal diketahui dalam sejarah agama-agama dunia dari sejak kemunculannya hingga hari ini telah menunjukkan dari sisi gelap agama, disisi lain sebagian besar masih menggunakan ornament agama, sebagai peradaban manusia yang dibangun melalui spirit agama-agama.

Beragama Menggunakan Akal Budi.

Berdasarkan persentase data agama di Indonesia, ada sekitaran 99 persen masyarakat Indonesia menganut agama ataupun keyakinannya masing-masing. Melalui jumlah persen yang sangat besar, maka nilai-nilai dan spirit agama sangat kental mewarnai perilaku kehidupan sehari-hari sejak di dalam rumah sendiri, tempat kerja, maupun dalam bermasyarakat dan berbangsa. Pertanyaannya yakni bagaimana spirit agama tersebut justru dapat membangkitkan energi untuk membangun peradaban Indonesia kepada kemajuan bangsa dan negara?

Kemajuan Indonesia sangat mungkin terwujud dengan persatuan dan kesatuan masyarakatnya, saling mendukung antara kelompok, dikeluarkan regulasi yang dapat mengayomi seluruh entitas masyarakat, tidak terjadi diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama, ras, etnis misalnya baik yang dilakukan elite politik maupun oleh masyarakatnya. Terlebih lagi negara Indonesia dalam idologinya menganut persatuan dan gotong royong.

Amatlah baik, jika masyarakat juga mendukung seluruh program pemerintah selama dalam koridor yang tepat dan bertujuan menyejahterakan rakyat. Menurut penulis, saatnya menggerakkan energi agama untuk mengarahkan masyarakatnya pada kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Dunia digital yang sedang merangsek pada setiap sendi kehidupan manusia saat ini patut menjadi perhatian masyarakat agama. Pertanyaanya, sudahkah masyarakat agama di Indonesia memaksimalkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi untuk membangun peradaban bangsa? Hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama di tengah pandemik Covid-19. Setiap hari data pasien Covid-19 terus bertambah. Ada yang masih sembuh, masih dalam perawatan, juga meninggal.

Tagline Indonesia dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam menangani pandemic ini ialah Kita Bisa. Dan di sini lah peran agama dapat dimaksimalkan. Caranya adalah mengimbau penganutnya masing-masing agar taat pada pemerintah, mendengarkan arahan para ahli ilmu kesehatan, ahli keamanan publik, maupun pada otoritas yang berwenang menjaga keamanan, kenyamanan dan keselamatan warganya.

Para Pemuka Agama, Seperti Kiai, Pastor, Pendeta, Biksu, Sesepuh, Alim-ulama memiliki andil yang sangat besar untuk mendidik dan memberikan teladan bagaimana menjadi warga negara yang taat hukum demi kemaslahatan bersama. Melindungi satu nyawa itu seperti menyelamatkan seluruh kehidupan manusia. Ini tidak didapatkan secara tiba-tiba jika model beragamanya tidak dicontohkan oleh para petinggi agamanya.

Edukasi Ormas keagamaan dan pendidikan public.

Seruan terhadap PBNU dan PP Muhammadiyah kepada jemaahnya masing-masing untuk melakukan aktivitas pengajian, shalat Jumat dengan diganti shalat dhuhur di rumahnya masing-masing. Begitupun ormas lainnya, Seperti Imam Besar FPI menyerukan hal yang sama.

Hal yang tidak jauh beda pun dilakukan oleh pemimpin tertinggi umat Katolik. Paus Fransiskus mengimbau umat Katolik untuk beribadah di rumahnya masing-masing tanpa harus pergi ke Gereja. Begitupun pemuka agama lainnya.

Majelis Ulama Indonesia memiliki semangat yang sama. Apalagi bagi jemaah yang sudah memiliki tanda-tanda terkena Covid-19 atau sudah masuk kategori Orang Dalam Pengawasan (ODP) untuk sementara ini tidak perlu pergi ke masjid. Inilah wujud kebersamaan dan kesamaan berfikir oleh setiap Pemuka Agama dalam menanggapi Pandemic ini.

Beribadah di rumah dengan alasan lebih mendekatkan diri pada Pencipta adalah argumentasi yang sekadar mendasarkan pada indoktrinasi agama namun jauh dari semangat penyelamatan penganutnya. Menyelamatkan umat semestinya dikedepankan di tengah situasi yang mengkhawatirkan dan tidak menentu.

Dalam Ushul Fiqh terdapat panduan hukum yang intinya: “Mencegah kerusakan jauh lebih diutamakan dari pada mendatangkan kebaikan (kemaslahatan)”. Tentu mencegah kematian atau meluasnya wabah Covid-19 lebih baik dilakukan daripada menuju tempat ibadah namun aspek kemudaratannya jauh lebih besar. Dampak dari kebijakan elite ormas keagamaan ataupun pemuka agama di atas pun semakin diikuti oleh jemaahnya dengan makin produktifnya publik agama melakukan penyemprotan desinfektan secara mandiri di tiap-tiap rumah ibadahnya, dan terlibatnya jejaring sosial dalam membantu pemerintah dan kepentingan bangsa dan negara. Semua terletak dimasing-masing manusianya.

Wallahu A’lam Bishawab

Maros, 18 April 2020





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Profesi Hukum

Kekerasan Terhadap Pemuka Agama