Negara dan Konstitusi

NEGARA DAN KONSTITUSI 
MIRZA NASUTION 
Bagian Ilmu Tata Negara
Fakultas Hukum 
Universitas Sumatera Utara

BAB I 
NEGARA (STATE-STAAT)
Membicarakan masalah hukum konstitusi artinya membahas dua 
variabel, apa itu hukum? Dan apa yang dimaksud dengan konstitusi? Keduanya 
terkait erat dengan persoalan negara dan karena itu untuk memahami pengertian 
hukum konstitusi haruslah dipahami terlebih dahulu tentang negara itu sendiri.
Negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa 
kelompok manusia yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial)
tertentu dengan mengakui adanaya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib
dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di
wilayahnya.Organisasi negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya 
organisasi, ada organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, 
kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian
yang lepas dari masalah kenegaraan). Kurang tepat apabila negara dikatakan 
sebagai suatu masyarakat yang diorganisir. Adalah tepat apabila dikatakan 
diantara organisasi-organisasi di atas, negara merupakan suatu organisasi yang 
utama di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan yang berwenang dan 
mampu untuk dalam banyak hal campur tangan dalam bidang organisasi￾organisasi lainnya. 
Ada beberapa elemen atau unsur utama yang membentuk pengertian 
negara, antara lain : 
a. Rakyat 
Unsur ini sangat penting dalam suatu negara, oleh karena orang /
manusia sebagai individu dan anggota masyarakat yang pertama-tama 
berkepentingan agar organisasi negara berjalan baik. Merekalah yang 
kemudian menentukan dalam tahap perkembangan negara selanjutnya. 
Pentingnya unsur rakyat dalam suatu negara tidak hanya diperlukan dalam ilmu 
kenegaraan (staatsleer) tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang disebut 
ilmu kemasyarakatan (sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus 
menyelidiki, mempelajari hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu
penolong bagi ilmu hukum tata negara. 
b. Wilayah (teritorial)
Tidak mungkin ada negara tanpa suatu wilayah. Disamping pentingnya 
unsur wilayah dengan batas-batas yabng jelas, penting pula keadaan khusus
wilayah yang bersangkutan, artinya apakah layak suatu wilayah itu masuk 
suatu negara tertentu atau sebaliknya dipecah menjadi wilayah berbagai 
negara. Apabila mengeluarkan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya 
hanya berlaku bagi orang-orang yang berada di wilayahnya sendiri. Orang akan
segera sadar berada dalam suatu negara tertentu apabila melampaui batas￾batas wilayahnya setelah berhadapan dengan aparat (imigrasi negara) untuk 
memenuhi berbagai kewajiban yang ditentukan. 
Paul Renan (Perancis) menyatakan satu-satunya ukuran bagi suatu 
masyarakat untuk menjadi suatu negara ialah keinginan bersatu (le desir de’etre ansemble). Pada sisi lain Otto Bauer menyatakan, ukuran itu lebih
diletakkan pada keadaan khusus dari wilayah suatu negara. 
c. Pemerintahan 
Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan
memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan 
penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara. Timbul pertanyaan, 
dari manakah pemerintahan memperoleh kekuasaan ini? Ada empat macam 
teori, yaitu teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan 
kedaulatan rakyat. 
Teori kedaulatan Tuhan (Gods souvereiniteit) meyatakan atau
menganggap kekuasaan pemerintah suatu negara diberikan oleh Tuhan. 
Misalnya kerajaan Belanda, Raja atau ratu secara resmi menamakan dirinya 
Raja atas kehendak Tuhan “bij de Gratie Gods”, atau Ethiopia (Raja Haile 
Selasi) dinamakan “Singa Penakluk dari suku Yuda yang terpilih Tuhan menjadi 
Raja di Ethiopia”. 
Teori kedaulatan Negara (Staats souvereiniteit) menganggap sebagai
suatu axioma yang tidak dapat dibantah, artinya dalam suatu wilayah negara, 
negaralah yang berdaulat. Inilah inti pokok dari semua kekuasaan yang ada 
dalam wilayah suatu negara.
Otto Mayer (dalam buku Deutsches Verwaltungsrecht) menyatakan 
“kemauan negara adalah memiliki kekuasaan kekerasan menurut kehendak 
alam”. Sementara itu Jellinek dalam buku Algemeine Staatslehre menyatakan
kedaulatan negara sebagai pokok pangkal kekuasaan yang tidak diperoleh dari
siapapun. Pemerintah adalah “alat negara”. 
Teori kedaulatan hukum (Rechts souvereiniteit) menyatakan semua
kekuasaan dalam negara berdasar atas hukum. Pelopor teori ini adalah H.
Krabbe dalam buku Die Moderne Staats Idee. 
Teori Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteit), semua kekuasaan 
dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat (bersama). J.J.
Rousseau (Perancis) menyatakan apa yang dikenal dengan “kontrak sosial”,
suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui Pemerintah
mempunyai kekuasaan dalam suatu negara. 
Di dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan, 3 unsur negara 
menjadi 4 bahkan 5 yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, UUD (Konstitusi) dan 
pengakuan Internasional (secara de facto maupun de jure). 
BAB II 
KONSTITUSI (CONSTITUTION)
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu
“constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan 
demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan 
perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet”
yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. 
Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar. 
A. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis 
Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi 
pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. 
Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar
bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, 
yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum 
Tertulis” (geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum
Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam 
karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir
semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan 
Kanada. 
Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi
walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di 
negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The
Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada 
dokumen tertentu yang menentukan: 
a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan 
b. Aadanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan 
dilindungi
Di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam
huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam
suatu dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat 
beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi,
satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan￾pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di 
Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga 
mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.” 
Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan 
sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal.
Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, 
Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218
pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. 
Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37
pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal,
Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal. 
B. Tujuan Konstitusi 
Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk 
keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai
kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada
dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah 
konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan 
tujuan konstitusi itu sendiri.
Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai 
lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan
antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara
(rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain
yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak 
terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi
yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi
tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya 
dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang
tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih 
baik dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian 
banyak negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar 
konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam
konstitusi. Aturan-aturan di luar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam undang-undang atau bersumber/berdasar pada adat kebiasaan setempat. 
Contoh yang tepat adalah Inggris dan Kanada, artinya tidak memiliki sama
sekali konstitusi tertulis tetapi tidak dapat dikatakan tidak ada aturan yang sifat
dan kekuatannya tidak berbeda dengan pasal-pasal dalam konstitusi. 
Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen yang 
terkenal yaitu “Magna Charta” yang merupakan dokumen kenegaraan yang
memberi jaminan hak-hak asasi manusia. Pada saat itu raja atas desakan para 
bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas daerah-daerah dari kerajaan 
Inggris) untuk menandatangani Magna Charta tersebut. Sebenarnya dokumen 
ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta wewenang para bangsawan, 
tetapi kemudian oleh umum dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak 
asasi manusia dari rakyat yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal
lagi bangsawan-bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja 
sebagai pemegang puncak kekuasaan pemerintahan. Magna Charta terdiri dari
63 pasal yang menentukan dalam garis besarnya (pasal 1) adanya jaminan 
kemerdekaan bekerjanya gereja Inggris dan kemerdekaan bergerak semua 
orang bebas (freeman) dalam kerajaan Inggris. Di samping itu dijamin dan 
dilindungi, antara lain:
1). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian dari 
siapapun tanpa membayar harganya seketika itu juga kecuali apabila si
pemilik memberi izin menangguhkan pembayaran (pasal 28); 
2). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau kendaraan 
dari seorang yang bebas (freeman) untuk keperluan pengangkutan tanpa
izin si pemilik (pasal 30); 
3). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu untuk 
keperluan raja tanpa persetujuan si pemilik; 
Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain ditentukan:
1). Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan seorang di 
muka pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang-orang yang dipercaya 
(pasal 38); 
2). Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke dalam 
penjara atau dilarang berdiam di satu daerah tertentu kecuali atas putusan 
oleh penguasa setempat atau dibenarkan oleh aturan negara (pasal 39); 
3). Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan pelaksanaan 
haknya atau peradilan (pasal 40).
Dalam banyak hal ditentukan juga bahwa siapapun boleh
meninggalkan kerajaan atau kembali dengan sehat dan aman melalui 
daratan atau perairan (laut) kecuali ada perang dan karena ditahan sesuai 
dengan aturan negara. Yang sangat menarik adalah aturan mengenai 
pengangkatan/pengisian berbagai jabatan terkait dengan penegakan 
hukum, misalnya ditentukan tidak seorangpun diangkat sebagai hakim, 
polisi atau jaksa, kecuali apabila orang itu benar-benar mengetahui aturan
hukum negara, beritikad baik untuk melakukan fungsi jabatan yang
diisinya.
 Ketentuan akhir dari Magna Charta antara lain menyatakan 
gereja Inggris adalah merdeka dan semua orang dalam kerajaan akan
menikmati kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas sebaik-baiknya dalam 
suasana damai tenteram sampai turun temurun atas itikad baik raja dan 
para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna Charta ini diulangi lagi oleh
raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of England and Of The 
Liberties Of Forest”. Memang di Inggris pernah ada semacam konstitusi 
tertulis yaitu pada saat Cromwell memegang tampuk kekuasaan pemerintahan (1653-1660) dengan satu dokumen yang disebut “The 
Instrument Of Government”, tetapi berlaku hanya sekali saat itu. 
Ada beberapa aturan (undang-undang) lain di Inggris tertentu, 
antara lain: The Habeas Corpus Act 1670, The Bill Of Rights 1689, The Act 
Of Settlement 1700, The parliament Act 1911, The Statute Of Westminster 
1931, The Representation Of The People Act (1928, 1945, 1948), The House 
Of Common Act 1944 dan The Parliament Act 1949. 
BAB III 
PEMISAHAN /PEMBAGIAN KEKUASAAN 
Hampir dapat dikatakan konstitusi di semua negara dimuat atau
tergambar keberadaan suatu pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu
kekuasaan membuat aturan/undang-undang (legislatif), kekuasaan
melaksanakan aturan/undang-undang (eksekutif/administratif) dan kekuasaan
peradilan (yudikatif). Gagasan atau ide dari Montesquieu mengajarkan dalam 
suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan anatar satu dengan kekuasaan 
yang lain (Separation Of Power). Montesquieu adalah hakim Perancis yang 
melarikan diri ke Inggris dan gagasan pemisahan kekuasaan saat ia melihat 
praktek kekuasaan di Inggris. Jika demikian jelas bahwa materi muatan hampir
setiap konstitusi di dunia mencontoh pada keadaan politik di Inggris, walaupun
Inggris sendiri tidak memiliki konstitusi tertulis. 
Pada abad 18 John Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of
Government” membela gagasan Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu: 
1). Kekuasaan perundang-undangan 
2). Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam negeri 
yang mencakup pemerintahan dan peradilan, dan 
3). Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna kepentingan
negara atau warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative
power” sebagai gabungan dari berbagai orang-orang atau kelompok. 
John Locke melihat nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia
pentingkan bukan nama tetapi isi kekuasaan yang olehnya dianggap
berbeda sifatnya dari dua kekuasaan yang lain. Mengacu pada kalimat
“Melaksanakan sesuatu hal urusan dalam negeri” kiranya Locke lebih tepat
dibanding dengan Montesquieu. Urusan dalam negeri yaitu pemerintahan
dan peradilan pada dasarnya adalah melaksanakan hukum atau aturan yang 
berlaku. Locke menyebutkan urusan pkerjaan pengadilan sebagai
“pelaksanaan” undang-undang. 
Mengenai urusan pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang
berlaku, tetapi juga dalam keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk 
dalam suatu peraturan/undang-undang. 
Pada sisi lain kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata
“melaksanakan”, artinya mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap 
luar negeri yang disebutkan sebagai tindakan kekuasaan pemerintahan 
suatu negara. 
Berbeda pandangan adalah C. Van Vollenhoven dalam buku 
“Staatsrecht Over Zee” yang menyatakan dalam suatu negara ada 4
(empat) macam kekuasaan yaitu:  1). Pemerintahan (Bestuur),
 2).Perundang-undangan, 
 3).Kepolisian dan,
 4).Pengadilan 
Van Vollenhoven pada dasarnya memecah pemerintahan menjadi dua
bagian yaitu: 
 1).Kepolisian sebagai kekuasaan mengawasi berlakunya hukum dan jika 
diperlukan dengan tindakan memaksa (toezicht en dwang/pengawasan dan 
pemaksaan) dan 
2).Pemerintahan yang tidak mengandung unsur mengawasi dan memaksa. 
Apabila dikaitkan dengan Indonesia, ada kekuasaan ke 4 yaitu 
kejaksaan (kekuasaan menuntut perkara pidana) sebagai kekuasaan yang
ada di antara kekuasaan kepolisian dan pengadilan di muka hakim. Hal ini 
karena secara jelas kekuasaan kejaksaan terpisah dari kekuasaan kepolisian 
dan pengadilan. 
BAB IV 
KLASIFIKASI KONSTITUSI 
A. Klasifikasi Konstitusi
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa hampir semua 
negara memiliki konstitusi. Apabila dibandingkan anata satunegara dengan 
negara lain akan nampak perbedaan dan persamaannya. Dengan demikian
akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi yang berlaku di semua negara.
Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi kemudian mengadakan 
klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara lain K.C. Wheare,
C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya. 
Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi 
konstitusi sebagai berikut: 
a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written 
constitution and unwritten constitution); 
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi 
(Supreme and not supreme constitution) 
d. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary
Constitution) 
e. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer 
(President Executive and Parliamentary Executive Constitution) 
Ad.a. (Telah cukup jelas). 
Ad.b. 1) Konstitusi fleksibel yaitu konstitusi yang mempunyai ciri-ciri pokok,
antara lain: 
a. Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah 
b. Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah 
undang-undang 
2) Konstitusi rigid mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:
a. Memiliki tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari undang-undang; 
b. Hanya dapat diubah dengan tata cara khusus/istimewa Ad.c. Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan 
tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). 
Konstitusi tidak derajat tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai
kedudukan seperti yang pertama. 
Ad.d. Konstitusi Serikat dan Kesatuan 
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi negara yang 
bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat) dengan negara-negara 
bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan 
seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena pada 
dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat. 
 Ad.e. Konstitusi pemerintahan presidensial dan parlementer. 
Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri￾ciri antara lain: 
- Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi 
juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan 
- Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih 
- Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak 
dapat memerintahkan pemilihan umum 
Konstitusi dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri 
(Sri Soemantri) : 
- Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk
berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen 
- Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen 
- Presiden dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat
membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan
umum. 
Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi 
sistem pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak 
termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD
1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri 
konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah
sistem campuran. 
DAFTAR BACAAN 
Austin Ranney, 1966, The Government Of Man, New York : NY. Hoolt, Rennehart
and Winston inc. 
Dahl, Robert A, 1982, Dilemma Demokrasi Pluralis, Terj. S. Simamora, Jakarta: 
C.V. Rajawali 
Dam B. Van, 1994, Constitutie Van de Russische Federatie, Leiden : Rijk
Universiteit
Derbyshire, J. Dennis and Ian, 1989, Political System Of The world, Edinburg : W & 
R Chambers ltd 
FRG Press & IO Of The Federal Govt. 1991, Germany, The Federation and The
Lander at a Glance, Bonn 
FRG Press & IO Of The Federal Govt. 1991, Basic Law For The Federal Republic Of 
Germany, Preamble, Bonn 
Hatta, 1967, Kumpulan Karangan (I), Jakarta : Bulan Bintang 
Logemann, J.H.A, 1948 Over de Theorie van een Stelling staatsrecht, Leiden : 
Universiteit Pers Leiden
Padmo Wahyono, 1986, Konstitusi Soviet, RRC,Turki, Jakarta : Ghalia Indonesia 
Rienov, Robert, 1964, Introduction to Government, third Edition, Revised, New
York : Alfred-A.Knopf 
Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung : Alumni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Profesi Hukum

REVIEW BUKU SISTEM SOSIAL INDONESIA DR. NASIKUN (Muhammad Agung)

Kekerasan Terhadap Pemuka Agama