Kasus Ham Perempuan di Indonesia dan Kaitannya dengan CEDAW
Human
trafficking dengan modus penyaluran tenaga kerja wanita ke luar negeri diungkap
LSM SARI.
Solopos.com,
SOLO – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Sosial Analysis and Research Institute (SARI) Solo bekerja sama dengan Polres
Karanganyar berhasil membongkar kasus perdagangan perempuan di Dusun Jumog,
Desa Jaten, Kecamatan Jaten, Karanganyar, Selasa (7/6/2016). Dua orang
perempuan yang menjadi korban perdagangan yakni Alsa Mutmah Inna, 18, warga
Desa Dete, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan
Ria Febriani, 21, warga Desa Labunan Kuris, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa,
NTT. Kedua korban diketahui masih bersaudara.
Ketua
SARI Solo, Mulyadi mengatakan terungkapnya kasus perdagangan perempuan itu
bermula ketika kedua korban didatangi petugas lapangan (PL) PT Sekar Tanjung
Lestari, Syaif Hamdan. Perusahaan itu bergerak sebagai jasa penyalur tenaga
kerja ke luar negeri. “Kedua korban diimingi gaji sebesar Rp6 juta/bulan
bekerja di Sigapura sebagai pembantu rumah tangga. Korban tertarik dengan
tawaran tersebut kemudian dilakukan cek kesehatan untuk syarat membuat paspor,”
ujar Mulyadi saat jumpa pres di kantornya, Kamis (9/6/2016).
Mulyadi
mengatakan korban dijemput di rumah pada Selasa (4/6/2016) pukul 24.00 WIB
untuk diberangkatkan menuju kantor perusahan di Sumbawa Besar. Kedua korban
pada Rabu (5/6/2016) pukul 06.40 WIB diterbangkan menuju Lombok melalui Bandara
Sultan Muhammad Kaharuddin. Setibanya di Lombok, korban diminta terbang menuju
Surabaya mengunakan pesawat Lion Air.“Di Surabaya korban dijemput seorang
diantarkan naik bus Damri menuju terminal Purabaya Surabaya. Sampai di terminal
korban melanjutkan perjalanan ke Solo,” kata dia. Setibanya di Solo, lanjut
dia, korban dijemput seorang bernama Candra dan sempat menginap di rumah Jl.
Mandala V RT 003 /RW 007, Kelurahan Jajar, Laweyan, Solo pada Senin (6/6/2016).
Kemudian
pada Selasa (7/6/2016) korban diberangkatkan ke rumah penampungan Desa Jaten,
Kecamatan Jaten, Karanganyar sebelum akhirnya digerebek polisi pada pukul 14.45
WIB. “Korban merasa curiga karena sebagai calon TKW [Tenaga Kerja Wanita] tidak
ditampung di kantor Dinsosnakertrans tetapi justru disekap di dalam rumah,
hingga kemudian menghubungi keluarganya di Sumbawa,” kata dia. Jaminan Utang
Mulyadi mengatakan korban menghubungi pamannya di Sumbawa bernama Sugito dan
kemudian meminta bantuan SARI Solo melacak keberadaan korban. Setelah
memastikan korban ada di Jaten langsung meminta bantuan Polres Karanganyar
untuk melakukan penggerebekan rumah penampungan. “Kasus perdagangan perempuan
saat dini ditangani Polres Karanganyar. Kami sangat menyayangkan polisi tidak
menahan dia [Candra] padahal pelaku ada di rumah saat terjadi pengerbekan,”
ujar Mulyadi.
Ia
mengatakan kasus di Jaten sudah masuk kategori perdagangan manusia sehingga
pelaku bisa dijerat Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dia (Candra) diketahui sebabagai
Kepala Cabang PT Sekar Tanjung Lestari di Karanganyar. “Kami terkendala masalah
dana untuk dapat memulangkan korban ke Sumbawa. Sementara korban di tampung di
kantor SARI Solo,” kata dia.
Mulyadi
menambahkan korban masih merasa trauma luar biasa sehingga masih butuh
diberikan pendampingan. Ia berharap pemerintah bergerak membantu memulangkan
mereka ke daerah asalnya. Sementara itu, seorang korban, Alsa Mutmah Inna,
mengaku mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan selama berada di penampungan
di Jaten. Pelaku meminta ponsel, melarang berkomunikasi dengan orang lain, dan
disekap di dalam kamar. “Kami masih merasa trauma atas kejadian ini. Saya
merasa diselamatkan dan ingin segera pulang ke kampung halaman bertemu dengan
keluarga,” kata dia.
Landasan Hukum terhadap Kekerasan Ham Perempuan
Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau Konvensi CEDAW
(Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women) telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun
1984. Dalam melakukan ratifikasi pasti memiliki konsekwensi dalam pelaksanaan
konvensi tersebut, baik yang tertuang dalam CEDAW maupun hak asasi perempuan
(bidang sipil,politik, ekonomis, sosial dan budaya). Intinya prinsip
non-diskriminasi harus menjadi landasan aksi pemerintah dalam merancang
kebijakan, program dan pelayanan public.
Apa
saja yang telah terjadi paska ratifikasi yang kurang lebih 26 tahun ini? Jawabannya belum maksimal. Mari
mengamati perkembangan dalam puluhan tahun ini, bahwa ratifikasi CEDAW yang
seharusnya menjadi landasan hukum dalam merumuskan kebijakan nasional, faktanya
masih ditemui (bahkan semakin banyak)
produk UU (undang-undang) dan peraturan daerah bertentangan dengan konvensi
CEDAW.
Di
Indonesia Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 297 telah mengatur masalah
perdagangan perempuan yaitu : “Perdagangan wanita dan perdagangan anak
laki-laki yang belum cukup umur di ancam dengan pidana penjara paling lama enam
tahun “Implementasi pasal ini menemui banyak kendala karena hanya memberikan
sanksi pidana atas perdagangan perempuan dan anak laki-laki tetapi belum
memerinci apa yang dimaksud dengan perdagangan perempuan. Selain itu bangsa
Indonesiajuga telah meratifikasi tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of Discrimination Against
Women ) atau CEDAW dimana pada pasal-pasalnya mengatur bahwa para negara
peserta akan mengambil semua tindakan yang tepat termasuk perundang-undangan
untuk menumpas semua bentuk perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran
wanita. Bangsa Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Melawan Penyiksaan
dan Kekejaman lain, Perlakuan atau Hukuman yang merendahkan atau tidak
manusiawi. (The Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman and Degrading
Treatment of Punishment) serta konvensi ILO yang telah diratifikasi tahun 1950.
Pengaturan di Indonesia yang mengatur tentang perdagangan perempuan dan anak
nampak pada :
1.
Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 64 undang-undang
ini menyatakan : “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat
mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya”.
Selanjutnya Pasal 65 menyatakan: "Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dan kegiatan eksploitasi, dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan
anak serta dan berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya. Ketentuan dan undang-undang tersebut diatas dianggap kurang efektif
karena tidak mencantumkan secarategas sanksi terhadap perbuatan-perbuatan
dimaksud terutama yang berkaitan dengan perdagangan.
2.
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang-Undang memberikan beberapa
pengaturan untuk mengatasi berkembangnya perdagangan perempuan dan anak. Pasal
7 menyata-kan:"Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi a.
genosida , b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Selanjutnya Pasal 9 UU Pengadilan
HAM menyebutkan : "Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Sedangkan penjelasan Pasal 9 huruf c
UU Pengadilan HAM mengatakan bahwa : "yang maksud dengan perbudakan dalam.
ketentuan ini termasuk perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak.
Masih terkait dengan pasal 9 UU Pengadilan HAM , Penjelasan Pasal 37 UU
Pengadilan HAM menyatakan : Sanksi terhadap perbuatan kejahatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 a, b, d, c atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup paling
lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun. Dan setiap orang yang melakukan
kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 9 huruf c dipidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun (Pasal 38 UU
Pengadilan HAM)
3.
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, yang memberikan
ancaman pidana yang berat bagi pelaku yaitu : Pasal 83 UU Perlindungan Anak
mengatakan bahwa : "Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau
menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga, ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah) Selanjutnya Pasal 88 menyebutkan sbb :
“setiap orang yang mengesploitasi ekonomi atau
seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Mengatasi kejahatan perdagangan
manusia memerlukan kerjasama dan solidaritas dari banyak pihak baik pemerintah,
aparat penegak hukum dan masyarakat sendiri karena banyaknya peraturan ternyata
belum menjamin keberhasilan dari terhapusnya perdagangan perempuan dan anak. Tahun
1998 Indonesia menandatangani Bangkok Accord and Plan of Action to Combat
Trafficking in Women yang merupakan sebuah consensus bagi negara-negara di
wilayah regional Asia Pasific dan memerangi perdagangan perempuan di kawasan
ini. Dalam rangka melakukan kegiatan ini ditetapkan 4 (empat) hal sebagai suatu
standart minimum, yaitu
1.
Pemerintah harus melarang perdagangan manusia dan menghukum kegiatan tersebut
2.
Pemerintah harus menetapkan hukuman yang setara dengan hukuman untuk tindak
pidana berat yang menyangkut kematian (grave crimes), seperti penyerangan
seksual dengan kekerasan / secara paksa atau tindakan perdagangan manusia dalam
bentuknya yang paling tercela yakni untuk tujuan seksual, melibatkan perkosaan
atau penculikan atau yang menyebabkan kematian.
3.
Pemerintah harus menjatuhkan hukuman yang cukup keras sebagai refleksi sifat
keji dari kejahatan tersebut, sehingga mampu menghalangi kegiatan perdagangan
manusia.
4.
Pemerintah harus melakukan, upaya yang serius dan berkelanjutan untuk
memberantas perdagangan manusia.
Dalam akses dan partisipasi
pembangunan, keterwakilan perempuan dalam jabatan publik yang masih rendah
serta kesertaan dalam perencanaan pembangunan masih perlu ditingkatkan.
Dibutuhkan komitmen yang tinggi dan konsisten dari stakeholder pembangunan
dalam menjalankan ratifikasi CEDAW ini, sehingga fakta dan situasi diskriminasi
terhadap perempuan melalui kebijakan, produk hukum dan yang lainnya bisa
diminimalkan. MA ( Makassar, 22 November 2016. 1:10 AM )
Komentar
Posting Komentar