Kisah Perjalanan Hidup
Kisah Perjalan Hidup
“Pantang Menyerah dalam Kehidupan”
Begitu banyak kisah yang dapat kita
ambil pelajaran di dunia ini, dan bahkan banyak sekali hikmah yang dapat
diambil sebagai motivasi dan kekuatan buat semua orang untuk menjalani hidup
yang penuh dengan tantangan dan cobaan. Sering kita putus asa ketika harapan
dan keinginan tidak terwujud. Padahal dibalik itu semua sebenarnya ada hal yang
patut kita syukuri sebagai kekuatan buat kita bangkit dari keterpurukan.
Adapun kisah yang dicobah untuk
ditulis ini, merupakan kisah yang bersumber seorang yang begitu dekat dengan
penulis. Yang mana kisah dalam perjalanan hidupnya sangatlah menantang sekali
sehingga sampai saat sekarang ini ia masih tetap berjuang dalam menjalaninya, tidak
ada kata untuk berhenti untuk berjuang dan berproses. Dalam konsep kehidupan
ini ada 2 ( dua ) macam, pertama,
konsep keberanian, kedua, pantang
menyerah. Jika kedua hal tersebut mampu tercapai secara maksimal maka percayalah
semua kehiduan yang dialami sampai saat sekarang ini, mampulah semuanya dialami.
Seorang filsuf pernah mengungkapkan
bahwasanya kemiskinan itu sebenarnya merupakan suatu rona keindahan tersendiri
dalam kehidupan manusia, suatu pesona yang tiada tara. Hal ini pernah saya
hayati sendiri, melalui kisah dari salah seorang yang tidak sengaja saya
dapatkan dalam kehidupan ini. Tepatnya pada tahun 2007, tanggal dan bulannya
tidak saya ketahui, seorang tersebut merupakan penduduk kabupaten maros,
tepatnya kelurahan pallantikang.
Sebut
saja nama dalam kisah ini adalah jamaluddin idil fitrah, beliau lahir di salah
satu kabupaten atau kota di Sulawesi selatan yang tepatnya di kabupeten maros.
Mungkin orang ini tidak terlalu especial bagi semua orang, beliau hanya lahir
dari kumpulan keluarga yang tak memiliki harta yang begitu banyak dan melimpah
dan bahkan boleh dikatakan sebagai keluarga miskin dan melarat waktu itu.
“Kata semangat dalam kehidupan ini adalah
manipestasi dalam bertindak dan melakukan sesuatu”, itulah kata yang sempat
disampaikan dalam wawancaranya.
Dimasa
kecilnya, sekitar 7 tahun sudah ikut serta menghadapi kerasnya kehidupan ini.
Orang tuanya merupakan seorang petani, mempunyai beberapa saudara. Dan
jamaluddin juga merupakan anak pertama, dan sudah berarti ia harus ikut dalam
kerja-kerja yang dilakukan oleh orang tuanya demi untuk menghidupi keluarga
miskinya. Sebagai seorang anak miskin, yang sudah terbiasa dirundung
kemalangan, sudah menjadi perasa. Walaupun keinginannya yang begitu
menggebu-gebu tapi terbentur pada batu karang kemiskinan. Kedua orang tuanya
yang kehidupannya tidak mampu memberikan jaminan bahwa ia dan bersama dengan
saudara-saudaranya akan menjadi orang kaya dan terpandang di daerah tempat
tinggalnya.
Seiring
perkembangan waktu yang telah beliau lalui, dan begitupun pendidikannya sudah memasuki
masa SMP dan sebagian saudaranya sudah masuk sekolah, maka sudah berarti beban
dalam keluarga terus bertambah, akan tetapi beliau tetap melalui dengan
kesabaran dan ketabahan. Dan bahkan orang tuanya rela menjual sebidang tanahnya
yang selama ini menjadi pendapatan dalam keluarganya hanya untuk makan, tapi
itu terputus untuk bagaimana anak-anaknya tetap menuntut ilmu
setinggi-tingginya dan paling tidak mengalahkan level pendidikan kedua orang
tuanya, terutama jamaluddin.
“Haruska
keadaan seperti ini senantiasa memenuhi seluruh umurku, ataukah cukup aku
bersikap pasrah saja terhadap semua ini ? bahkan orang bilang ini sudah suratan
takdir, tapi jawabannya. Tidak! Setiap insan diwajibkan untuk memperbaiki
nasibnya”. Kata beliau dalam curhatanya.
Tibalah
saatnya beliau memasuki era akhir dari sekolah SMA nya, dan rencana akan
melanjutkan pendidikannya sampai tingkat yang tertinggi, taida lain hanya ingin
mengangkat derajat keluarganya dihadapan para tetangganya. Akan tetapi hal itu
sedikit saja terpotong semangatnya, disebabkan pertimbangan keluarganya
terutama kedua orang tuanya. Beliau memberikan jaminan untuk menyakinkan
dirinya bahwa ia mampu melanjutkan semuanya hal itu, dengan syarat bahwa beliau
harus mampu menjalankan dengan sebaik-baiknya dan tanpa melalui pendapatan
keluarganya. Dan waktu itu beliau mampu masuk dalam perguruan tinggi yang
terbesar dan terbaik dibagian Indonesia bagian timur di jurusan ilmu politik
dan tanpa sepeser pun pembayaran pendaftaran yang ia minta melaui orang tuanya.
Cobaan
yang terus beliau lalui selama masa kuliahnya, itu hampir saja mematahkan
semangat, ketika waktu itu tuntutan untuk pembayaran iuran persemester yang
sepenuhnya tidak mampu ia penuhi secara maksimal, maka si bapak tersebut rela
pergi menjual sayuran yang ia tanam, padahal sayuran tersebut hanya
diperuntukkan untuk lauk pauk dalam santapan keluarganya, bahkan menjadi buruh
disawah orang lain untuk menutupi semuanya. Akan tetapi berkat semangatnya
mampu ia selesaikan kuliahnya.
Semangat
pendidikannya tidak pernah runtuh, maka ia lebih memilih lagi untuk melanjutkan
ke perguruan tinggi yang akan membentuk jiwa-jiwa pendidikan yang akan sesuai
dengan profesi guru atau pendidik, bahkan rejeki sudah mampu ia rasakan ketika
itu, karena hampir seluruh pembayaran kuliahnya melaui beasiswa baik itu
melalui tempat ia kuliah dan beasiswa dari daerahnya sediri. Bahkan bukan cuman
kuliah, beliau tetap aktif dalam organisasi, baik itu organisasi internal
kampus maupun organisasi ekternal kampus, sehingga jaringan-jaringan tentang
beasiswa agak cepat ia dapatkan dengan melaui wadah tersebut.
Ketika
ia sudah mampu menyelesaikan masa kuliahnya dan bahkan ia mampu selesai dengan
waktu sebagai mahasiswa yang terbaik. Maka beliau sudah diperhadapkan dengan
dunia nyata menurut sebagian orang-orang. Akan tetapi beliau tidak terlalu
merespon perkataan tersebut, dikarenakan ia sudah mampu melalui sebelumnya
kerasnya kehidupan dunia, dimana ia harus mempertaruhkan dirinya untuk
keluarganya dan begitupun pendidikannya.
Ajaran
agama yang ia terima dari orang tua maupun guru mengaji dapat menimbulkan
getaran kuat dalam sanubari beliau, sebagai seorang anak miskin yang
berpendidikan selalu dirundung kemalangan, malah menjadi kuat dan berfikir.
Tuntutan perut dan kesejahteraan keluarganya selalu meminta untuk ditopang dan
suasana tempat tinggalnya yang menurut beliau belum dapat dijadikan bahan
pengujian dari pendidikannya, sehingga menimbulkan keinginan untuk hijrah
meninggalkan kampung halamannya dan para keluarganya.
Awal
dari tempat hijrah beliau ialah berada pada pusat ibu kota di Indonesia,
tepatnya di Jakarta. Tapi ternyata persaingan orang-orang ditempat tersebut
sangatlah kuat, sehingga memungkinkan dirinya kerja pada suatu perusahan mesin,
yang hanya untuk menutupi kehidupannya ditempat tersebut dan ia juga malu untuk
pulang sebelum mendapatkan sesuatu yang menjadi keinginannya. Setelah beberapa
tahun ditempat tersebut, bukannya beliau bertahan akan tetapi beliau hijrah ke
bagian timur, tepatnya di Ternate. Nah ditempat tersebutlah ia mulai
memanfaatkan SDM-nya yang sudah menjadi tuntutan selama kuliahnya.
Ternate
tersebut memberikan wadah kepada jamaluddin untuk berperan aktif dalam
pelaksanaan pemilihan, baik itu tingkat daerah, maupun pemilihan tingkat secara
keseluruhan Indonesia. Setelah agak beberapa tahun ia aktif dilembaga pengawas
pemilu, maka ia mendapatkan kesempatan untuk mendaftarkan dirirnya sebagai
Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) dan Alhamdulillah beliau mampu lulus dengan baik
sebagai Guru PNS sampai saat sekarang ini. Seiring perkembangan waktu, masa
dewasa sudah hampir memasuki masa orang tua, maka sudah mesti ia harus
melakukan pernikahan, walaupun belum mampu mencapai apa yang menjadi
keinginanya, akan tetapi beliau tidak melupakan hal tersebut.
Adapun
yang menjadi keinginan beliau yang sudah lama sekali, dan bahkan menjadi niat
dalam setiap bertindak ialah bagaimana ia mampu memberangkatkan kedua orang
tuanya ke baitullah, Makkah, sebelum kawin. Walaupun ia sudah kawin akan tetapi
niat tersebut ia lupakan, apalagi orang tuanya tidak pernah menuntut untuk
diberangkatkan kesana, akan tetapi hal itu sudah dipenuhi walaupun masih tahap
penungguhan untuk keberangkatannya. Karena beliau tidak tega melihat kedua
orang tuanya dan keluarganya yang ia cintai masih tetap hidup sesuai apa yang
terjadi sebelumnya, yang mana kehidupannya digerogoti dengan kemiskinan dan
kemelaratan. Akan tetapi semangat tersebut mampu tumbuh kepada
saudara-saudaranya yang jumlahnya secara keseluruhan ada tujuh ( 7 ) orang, 5
orang laki-laki, ada yang sudah serjana dan masih ada yang proses perkuliahan,
dan 2 orang cewek yang masing-masing tamatan SMA saja.
Maros,
adalah kampung halamannya. Tetapi nilai riwayat kemanusiaan di tempatnya bukan
menjadi jaminan untuk hari esok. Ia harus meninggalkannya, pindah ke kota
terdekat yang barangkali akan sanggup memperbaiki nasibnya. Yah, Ternate,
sebuah tempat yang ada di bagian timur. Kata beliau uang lebih mudah didapat di
kota lain daripada daerah kelahirannya, asal mau bekerja apa saja. Berangkatlah
ke kota lain atau daerah lain untuk mencoba mengadu untung. Menyempurnakan
ikhtiar demi mengubah keadaan.
Sumber Penulisan
Penulis : Muhammad
Agung.
Kisah dari Perjalanan
Hidup Jamaluddin.
Komentar
Posting Komentar